Welcome to My Blog

Sabtu, 05 Maret 2011

Pelangi Terindah

       Felicia menggoreskan goresan terakhir kuasnya ke kanvas. Dia terus berlatih melukis karena 3 bulan lagi dia akan mengikuti lomba. “Hmm, pelangi yang aneh.” gumamnya.
“Kenapa sayang? Mama lihat akhir-akhir ini kamu down melukis?”
“Nggak apa-apa, Ma,” jawabnya dengan malas.
“Ayolah, cerita sama Mama.” kata Mamanya sambil mengelus-elus kepala Feli.
“Hm.. Aku kangen Nico, Ma,” Feli menunduk.
“Sabarlah, dia pasti pulang. Mama yakin dia juga kangen sama kamu. Kamu mau telepon dia?”
Air mata Feli mulai membasahi pipinya. Dia teringat masa-masa kecilnya yang dia habiskan dengan bermain bersama Nico yang sekarang melanjutkan sekolah di Australia. Papa Nico adalah seorang pelukis hebat yang membimbing Feli melukis sejak kecil.
“Ma, bisa nggak kita menyusul Nico ke Australia? Mungkin Tante Nico akan mengizinkan kita untuk menginap disana untuk beberapa hari?” tanya Feli di sela-sela air matanya. Dia sangat kehilangan Nico. Nico sudah ia anggap sebagai saudara kandungnya sendiri. Nico yang selalu mendengarkan curahan hatinya, Nico pula yang selalu menemani kemana pun ia pergi.
Mama tersenyum, “Nggak semudah itu. Kita tunggu aja Nico pulang, ya. Sebentar lagi dia pasti pulang, tinggal kamu yang harus bersabar.” kata Mama, memeluk Feli yang manja.
“Tapi Feli ingin ketemu Nico, Ma! Nico janji dia akan pulang setahun sekali, tapi mana buktinya? Ini udah tahun ke-3 dia nggak pulang, Ma. Feli kangen banget sama dia. Atau mungkin, dia sudah ada teman dekat yang baru, dia bisa lupain Feli gitu aja, Ma? Feli nggak rela! Dia itu sahabat terbaik Feli..” kata Feli tersedu-sedu.
“Iya sayang, Mama ngerti. Tapi..,”
“Ok. Mungkin Feli harus membenci Nico mulai sekarang! Nico jahat! Feli nggak mau ketemu dia lagi!” teriak Feli. Dia berlari ke kamarnya dan mengunci pintu kamarnya. Ia menangis sekuat-kuatnya di tempat tidur. Ia tidak bisa menepati ucapannya pada Mamanya untuk membenci Nico. Ia teringat Nico. Ia sangat kehilangan Nico dan selalu mengharapkan Nico pulang. Dia menangis sampai akhirnya terlelap.
 “Feli, bangun sayang. Sudah jam setengah 7, kamu mau sekolah nggak?” Mamanya mengetuk pintu kamar Feli.
Feli menggeliat sambil meraih weker di meja samping tempat tidurnya. Dia kaget melihat jam berapa sekarang. “Oh, tidak. Aku kesiangan!” gumamnya. Ia melompat dari tempat tidurnya, “Iya, Ma! Sebentar! Feli mandi dulu!” teriaknya.
Ia mandi dengan tergesa-gesa dan menyambar roti untuk dimakan selama perjalanan ke sekolah.
Sesampainya di sekolah, dia berlari menuju kelas dan, “Bruukk..” ia menabrak Ray, teman dekatnya yang sedang mengelus-elus pipinya yang merah.
“Ups! Hehehe, sorry Ray, aku kesiangan. Gurunya sudah datang?” Feli ngos-ngosan. Ray hanya mengerutkan keningnya sambil terus mengelus pipinya. “Raayy! Kamu denger nggak, sih? Eh, pipimu kenapa? Kok, merah? Dicium, ya? Atau..” Feli nyerocos, tidak sabar menunggu jawaban dari Ray.
“Plakk!” Feli menampar pipi Ray. Ray menjerit. “Aww!”
“Hehe, aku tahu! Selamat ulang tahun!” ucap Feli sambil merebut tangan Ray dan menjabatnya. Ray melengos. “Mana kadonya?” Feli bengong.
“Oh, ada.” Senyum Ray pun mengembang. “Mana?” tanya Ray.
“Di toko! Hahaha.” jawab Feli sekenanya sambil menampar pipi Ray untuk yang ke-2 kalinya dan langsung berlari ke kelas.
“Aaawww! Aku akan membunuhmu untuk tamparanmu yang ini, Felicia!” teriak Ray dan mengelus lagi pipinya yang malang, tetapi ia tersenyum senang.
Sepulang sekolah, Feli membawa kue untuk Ray. Ia merayakan ulang tahun Ray di sekolah karena Ray tidak pernah mau memberi tahu dimana rumahnya.
Setelah meniup lilin, “Tiuit.., tiuit..!” ponsel Feli berbunyi.
“Halo?”
“Felicia! Aku udah di Jakarta. Sekarang lagi di perjalanan ke galeri Papa. Aku tunggu kamu disana, ya!”
Felicia bengong. Senyumnya mulai tampak. “Oh. I..ini, Nico?” senyumnya makin melebar.
“Iya, aku Nico, sayang.”
Felicia sangat senang bisa mendengar suara Nico lagi. Itu berarti Nico masih ingat kepada Feli. Saking senangnya, dia sampai gugup berbicara dengan Nico. “Haa? Eh, I..Iya..iya. Aku kesana sekarang. Kebetulan aku masih di sekolah. Paling jalan kaki juga sampai.”
“Ok, honey. Jangan lama-lama. Aku cuma punya waktu sebentar. Miss you!”
“Iya. Miss you too.” Jawab Feli riang.
Feli pun pamit pada Ray. Ray dengan berat hati membiarkan Feli pergi. Ray memang menyukai Feli sejak setahun yang lalu, pada masa MOS SMA. Ia pun hanya pasrah memandang kepergian Feli. Ia sangat kecewa karena Feli lebih memilih Nico daripada acara ulang tahunnya Ray.
Sementara itu, Felicia berjalan sambil melompat-lompat gembira. Hampir setengah jalan ditempuhnya, Feli menyebrang sebuah tikungan dan akhirnya…
“Braaakkk…!!” Sebuah mobil sedan kuning menghantam tubuh Feli sampai ia terpelanting beberapa meter. “Criiiittt!!” Rem mobil itu sempat berbunyi namun terlambat. Felicia sudah tergeletak tak berdaya dengan bersimbah darah di jalan sunyi itu sementara mobil yang menabraknya kabur.
Nico yang sibuk berbicara pada mailbox Feli sangat khawatir akan keadaan Feli karena Feli tidak kunjung tiba di galerinya. Ia tidak mempunyai banyak waktu dan akhirnya pergi ke Makassar tanpa bertemu dengan Feli yang sekarang tidak sadarkan diri di rumah sakit. Nico sangat marah dan kecewa. “Gue ke Jakarta cuma ingin ketemu lo, sebentar aja. Tapi ternyata nggak ada gunanya.”
Setelah 2 hari di rumah sakit, Feli belum kunjung sadar. Ia mengalami luka serius di kening dan pelipisnya. Mama dan kakaknya tidak bisa berhenti menangis mendengar apa yang dikatakan dokter.
Wandy, kakak Feli, dengan setia menunggu Feli sejak 3 hari yang lalu. Kini giliran Ray yang menjaga Feli di rumah sakit karena Wandy harus ujian di kampusnya. Tak kunjung lama Felicia pun sadar, “Nico..Ni..Nico..” hanya itu kata pertama yang terlontar dari mulut Feli saat ia tersadar. Mendengar itu, Ray kecewa. Ia sangat marah pada Nico karena hanya untuk bertemu dengan Nico, gadis yang dicintainya harus mengalami musibah seperti ini. Feli pun akhirnya kembali tidak sadarkan diri.
Dua bulan kemudian, Felicia sudah bisa kembali sekolah lagi meskipun dia berjalan dengan bantuan kursi roda. Dia sibuk meminjam buku catatan teman-temannya karena dia sudah banyak tertinggal pelajaran dan 1 bulan lagi lomba melukis itu berlangsung. Meskipun dengan kondisi yang tidak sehat, Feli terus berusaha mengikuti lomba itu demi mengejar cita-citanya menjadi pelukis hebat yang sejak kecil diidam-idamkannya.
Felicia mulai teringat Nico. Dia sudah tidak menepati janjinya untuk datang ke galeri lukisan papanya. Dia terus menghubungi ponsel Nico, tapi tak sekalipun panggilan itu tersambung, yang ia dengar hanya suara robot mailbox.
Besoknya, Felicia mencari-cari Ray yang tidak pernah terlihat lagi batang hidungnya sejak kecelakaan itu. Felicia khawatir akan keadaan Ray, ia pun menelepon Ray untuk memastikan bahwa Ray baik-baik saja, tetapi berita yang ia dengar dari orang tua Ray hampir saja membuat ia pingsan. “Ray kabur, ia sangat khawatir padamu, dia sempat meminum racun serangga. Dan sekarang dia dipenjara karena kasus narkoba sejak sebulan yang lalu.” begitu kata Papa Ray. Ternyata ia sangat terpukul dengan kecelakaan yang menimpa Felicia.
Felicia sangat merasa bersalah mendengar berita itu. Dia pun mengunjungi Ray sebentar dan setelah itu dia pulang. Dia menceritakan semuanya pada mamanya. Feli tahu sekarang bahwa Ray sangat mencintainya. Tapi Feli masih tidak bisa melupakan Nico. “Mungkin Nico adalah cinta pertamanya.” bisik Wandy kepada mama Feli.
Akhirnya, besok adalah berlangsungnya lomba melukis. Lomba yang membuat Felicia sangat giat berlatih. Dia menyiapkan alat melukisnya tetapi kuasnya hilang. Dia mencari di seluruh sudut kamarnya. “Kuasku sayang, sini donk!” Feli bergumam sambil melongok ke kolong tempat tidur. Dan di saat itu lah keganjilan terjadi, pandangan Feli kabur dan semakin gelap. Ia tidak bisa lagi melihat kuas yang dekat sekali dengan kakinya. Semakin gelap, dan ia pun pingsan.
Feli mencium bau yang jelas bukan bau kamarnya. Rumah sakit. Ia pun segera membuka matanya. “Ma.. Mama..lampunya dinyalain dong, Ma!” teriak Feli. Mamanya pun tersentak bangun. Ia buru-buru mencari saklar lampu. Tapi ia tersadar. Ia dan Papa Feli terbelalak melihat lampu yang masih menyala dengan terangnya di langit-langit ruangan itu.
Mamanya memeluk Feli dan menangis. “Ini terjadi, nak. Lampunya masih menyala, sayang.” ucap Mamanya terisak.
Feli gelagapan, “Feli nggak bisa lihat apa-apa, Ma, Pa!” katanya ketakutan. “Dokter bilang apa?” desak Feli. Mama dan Papanya diam seribu bahasa.
Feli mengerti, “Kecelakaan…” gumamnya.
“Iya, nak. Benturan itu melukai syaraf mata dan korneamu.”
“Mata? Jadi.. Feli buta?” Tatapannya kosong karena memang tidak ada apa pun yang bisa ia lihat. Air mata mulai mengucur dari pelupuk matanya.
“Feli buta.. Feli buta..” kata itu terus diulang-ulang olehnya. Dia masih tidak percaya. Dia buta.
Sementara itu, Ray yang baru saja mendengar berita bahwa Feli buta, langsung mengajukan untuk memberikan kornea matanya untuk Feli. Ia rela menjalani sisa hidupnya tanpa bisa melihat lagi. Demi Felicia. Tetapi semua menolaknya, karena hanya kornea mata orang yang sudah meninggal yang biasanya didonorkan, itu pun harus dengan persetujuan keluarga.
Ray sangat kecewa. Ia sangat ingin melakukan sesuatu untuk Feli, Tapi ia tidak tahu bagaimana.
Sejak itu, Feli memutuskan untuk berhenti sekolah. Semua temannya menangis mengetahui Feli akan keluar dari sekolah, tetapi Feli senang karena temannya yang menggantikannya melukis di lomba tempo hari itu menang.
Ray akhirnya bebas dan langsung ke rumah Feli, lalu ia pulang ke rumahnya. Di depan rumah, ia kaget karena sebuah mobil kuning mewah hampir menyerempet tubuhnya. Anehnya, mobil itu masuk ke rumah Ray.
Turunlah seorang pemuda tampan yang berpakaian rapi. Lalu Papa Ray menyambutnya hangat dengan sebutan ‘nak’. Ray cemburu, dia tidak pernah mendapat perlakuan sehangat itu dari Papanya sendiri. Ia mengerti, pasti pemuda itu anak dari istri kedua Papanya yang akan kuliah di Indonesia.
Di belahan bumi lainnya, Felicia menangis di kamarnya. Tetapi ia tidak ingin mengumbar kesedihannya pada orang lain. Ia selalu melapisi kesedihan itu dengan senyuman. Senyuman penderitaan.
Felicia teringat akan hobinya melukis. Ia mencoba untuk melukis lagi, walaupun hasilnya abstrak sekalipun ia tidak peduli. “Melukis itu menggunakan hati.” gumamnya.
Tak lama kemudian, ia merasa ada yang menepuk pundaknya. Ia mencium wangi yang tidak asing lagi di hidungnya. Wangi yang mengingatkan ia pada masa kecilnya yang sangat manis.
Seseorang itu langsung memeluk Feli dengan erat. Feli pun tersentak, tapi ia membalas pelukannya, “Ni..Nico?” tanyanya. Ia merasakan orang yang memeluknya mengangguk dibahunya. Ia tak kuat menahan tangis. “Ini bukan mimpi, kan?” tanyanya tak percaya.
Nico membelainya dengan penuh haru. “Aku kangen banget sama kamu, sayang.” keduanya mempererat pelukan mereka.
“Aku lebih dari itu. Bertahun-tahun aku nunggu kamu pulang.” jelas Feli.
Nico tersentak lalu melepaskan pelukannya, “Aku juga nunggu kamu di galeri. Aku kecewa kamu nggak datang waktu itu.”
“Maaf.” kata Feli. Nico mengerutkan keningnya, “Ya.”
“Aku kecelakaan.” ujar Feli lemah. Nico kaget bukan main, “Apa? Kecelakaan?”
“Iya, aku pingsan waktu itu. Setelah sadar, aku berusaha menghubungi kamu, tapi nomormu nggak pernah aktif lagi.”
Nico masih tak percaya, ternyata kemarahannya waktu itu hanya sebuah kesalahpahaman. Nico pun memeluknya lagi.
Nico memandang sekeliling kamar Feli yang penuh dengan lukisan. Banyak sekali lukisan pelangi, karena memang Feli sangat menyukai pelangi.
Nico memandang lukisan yang sejak tadi mengundang keheranannya. “Kamu lagi ngelukis apa, sayang?” tanyanya.
“Ha? Yang mana?”
Feli benar-benar tidak bisa melihat lukisan mana yang dibahas Nico yang jelas-jelas menunjuk ke arah lukisan yang tadi dilukisnya. Feli hanya menebak-nebak. “Oh.. Itu pelangi.” jawabnya polos.
“Hitam? Lagi sedih?”
Feli berpikir sejenak. “Nggak, kok. Lagi mau aja melukis pelangi hitam.” katanya asal. Padahal ia tidak tahu bahwa pelangi yang dilukisnya itu berwarna hitam.
Nico hanya mengangguk. Ia menarik tangan Feli dan berlari. Feli limbung. “Nico, berhenti!” teriaknya. Nico kaget dan berhenti.
Feli melembutkan suaranya, “Pelan-pelan aja, sayang.” katanya. Nico menurut, dia berjalan pelan, tetapi Feli malah mematung.
“Hei, kenapa malah diam?” tanya Nico. Feli mengulurkan tangannya. Nico pun tertawa dan menggandeng tangan Feli.
“Kayak orang buta aja kamu.” katanya.
Feli tersentak kaget. Jadi selama ini Nico tidak tahu bahwa ia buta.
Nico mendudukkan Feli di halaman rumah Feli dan menunjukkan sebuah pelangi pada Feli. Feli hanya bengong.
“Lukiskan pelangi itu untukku, sayang.” pinta Nico.
“Aku..aku.. nggak bisa..” katanya gemetar. Hatinya sakit. Dia tidak bisa memenuhi permintaan orang yang dicintainya. “Ayolah..” Nico menyelipkan sketch book dan kuas ke tangan Feli. Feli hanya mematung.
“Aku..aku nggak bisa melihat pelangi itu!” katanya mantap. Tangisnya pecah.
Nico heran, “Huh, percuma saja Papaku menurunkan bakat melukisnya padamu kalau melukis pelangi saja kamu nggak bisa.” ujar Nico kecewa.
Tangisnya semakin meledak, “Kamu nggak sadar. Aku nggak pernah lihat wajah kamu, Nico! Juga pelangi itu.. Aku ingin sekali melihat semuanya tapi aku nggak bisa!” teriaknya sambil terisak. Nico semakin bingung.
“Aku pernah menyinggung soal kecelakaan, kan? Andai saja aku lebih berhati-hati, pasti mobil kuning itu tidak akan menabrakku!” jelasnya. Nico tercengang. “Mobil kuning?” Ya, ia ingat bahwa 3 bulan lalu saat ia akan ke galeri papanya ia menabrak seorang gadis. Ia kabur karena dikejar waktu. Sekarang ia tahu siapa yang ia tabrak waktu itu dan ia ambil penglihatannya.
Nico mendekap Felicia erat. Dia sangat menyesal.
Nico menyandar di mobil kuning di garasi rumahnya. “Andai aja gue tau itu loe, Felicia!” teriaknya penuh sesal. Ray yang menguping pembicaraan Feli dan Nico kemarin sudah berdiri didekatnya langsung menghajar Nico tanpa ampun.
“Ok. Gue bakal serahin Felicia buat lo. Tapi pesen gue cuma satu, bahagiain Feli.” katanya lemas.
3 bulan berlalu. Wandy bangun dan mendapati adiknya duduk di teras depan rumah. Tak lama Nico pun datang.
Nico membawa Feli ke sebuah tempat dimana tempat itu adalah tempat pertama kali mereka bertemu. Ia merencanakan sesuatu jadi ia ingin menghabiskan waktunya bersama Felicia di tempat ini. Tempat yang bersejarah bagi mereka berdua.
“Tempat ini rindu sama kamu Nico, sama dengan aku yang rindu sama kamu. Meskipun aku udah nggak bisa melihat wajah kamu.” ucapnya lemah.
Nico meleleh, dia menangis. Terbesit di benak Nico untuk mengatakan yang sebenarnya masalah kecelakaan itu. Tapi nyalinya tidak cukup besar untuk membuat Felicia pingsan ditempat.
Esok paginya, Feli menerima telepon dari dokter yang merawatnya dulu bahwa ada pendonor kornea mata untuknya. Dia sangat senang. Itu artinya dia berkesempatan untuk melihat lagi.
Feli akan di operasi hari ini. Tangis keluarganya pecah saat ia akan di bawa suster ke ruangan operasi.
Setelah seminggu pasca operasi, akhirnya Feli bisa melihat lagi! “Nikmatnya hidup ini!” ujarnya riang. Dia meluncur dengan mobil Papanya. Felicia sangat berterimakasih kepada siapa pun malaikat yang telah menyumbangkan sepasang mata untuknya. Ia ingin membalas budi baik malaikat itu tetapi dokter bilang malaikat itu sudah meninggal sekarang.
Feli mencari-cari Ray dan mengunjungi rumah teman Ray. Feli sangat tersentak ketika mendapat kabar dari ibu temannya Ray bahwa Ray masuk penjara lagi karena kasus yang sama, narkoba. Setelah keluar dari rumah teman Ray itu, dia kaget melihat mobil kuning yang sangat tidak asing di matanya. Mobil yang membuat ia buta waktu itu dan mencuri cita-citanya untuk menjadi seorang pelukis yang hebat. Feli pun segera meluncur ke penjara untuk menanyakan hal ini kepada Ray tetapi Ray diam seribu bahasa. Ray depresi berat!
Dia pun pergi ke rumah Nico untuk mengabarkan penglihatannya itu. Tetapi yang ia lihat hanya sebuah foto. Dia kaget mendengar penjelasan bahwa Ray dan Nico itu saudara. Dia mencari-cari Nico tetapi yang ia dapat adalah sepucuk surat dari Nico untuknya. Dia pun pulang dengan kecewa.
Satu bulan kemudian..
Di suatu senja yang indah, ia menyelesaikan lukisannya.
“I LOVE SYDNEY”
Itulah lukisannya kali ini karena ia sedang berlibur di Australia. Dia menuliskan sesuatu di ujung lukisannya, “and I do love you, Nico!”
Dia tersenyum melihat lukisannya. Meskipun lukisan itu hanya berisikan tulisan, dia sangat suka dengan lukisan itu. Dia memperhatikan tulisan di ujung lukisannya itu, ia menganggap tulisan kecil itu akan menjadi janji yang sebenarnya dalam hidupnya.
Dia membuka amplop putih yang selalu terpajang diantara foto keluarganya. Amplop yang selalu ia bawa kemana pun dan mengeluarkan dengan pelan dan hati-hati secarik kertas yang sudah lusuh karena banyaknya air mata yang tumpah diatasnya. Surat dari Nico.

Felicia sahabat kecilku,
Aku harap kamu bisa baca tulisan ini dengan matamu sendiri. Maafkan aku karena harus pamit dengan cara seperti ini. Aku nggak punya cukup keberanian untuk mengatakan kebenaran itu. Kamu adalah cinta pertamaku. Kamu yang bikin aku mengambil keputusan untuk pulang ke Indonesia.
Tapi, setelah aku melihatmu, kamu begitu menderita. Aku sedih. Apalagi setelah aku tahu bahwa penyebabnya adalah aku! Setiap kali aku melihat kamu, hatiku sakit banget. Aku nyesel! Karena aku yang melakukannya, aku membuat kamu kehilangan semangat hidup kamu, maka aku juga yang harus mengembalikan semuanya.
Maafkan aku, sayang. Aku udah bikin kamu nunggu. Dan maaf juga, karena aku baru sadar bahwa kamu itu benar-benar mencintaiku. Sekarang, kamu nggak usah nunggu siapa-siapa lagi karena aku akan selalu menemanimu disisimu. Dengan sepasang matamu itu, aku akan melihat apa yang kamu lihat dan merasakan apa yang kamu rasakan. Jadi kamu nggak usah bersedih lagi. Terima kasih Felicia, kamu udah jadi cinta pertama sekaligus cinta terakhir buatku. I love you, forever. 

“Nicoooo…..!!!” Felicia berteriak sekeras-kerasnya seolah dunia ini miliknya sendiri. Air mata meleleh di pipinya. “Nico telah pergi menemui Sang Pencipta, menukarkan hidupnya untuk menyaksikan tawa gadis yang dicintainya.” pikirnya. Senyumnya mengembang tak lama kemudian.
Felicia memulai lembaran baru dengan semangat yang menggebu. Tekadnya menjadi pelukis semakin kuat, demi Nico, cinta pertamanya.
“Nico, terima kasih banyak, sayang. Aku janji, aku akan terus mengejar cita-citaku, sesulit apapun itu! Aku nggak akan takut karena aku punya kamu didalam hatiku. Aku pasti akan jadi pelukis hebat!” teriaknya menantang langit. Feli yakin Nico mendengar teriakannya di alam sana, kerena itu dia begitu semangat.
Dia melihat sebuah pelangi di langit. Begitu jelas terlihat dari tempat dia berdiri. Ia berdecak mengagumi indahnya ciptaan Sang Pencipta. Ia memerhatikan inci demi inci pelangi yang timbul di atas keramaian kota.
“What a beautiful rainbow! The most beautiful rainbow I have ever seen..” tidak berhenti mulutnya mengeluarkan pujian terhadap pelangi itu. Terbesit sesuatu di benaknya.
Dia pun mengambil sketch booknya dan tak lama kemudian kuas yang terselip di jarinya mulai menari-nari diatasnya. Feli tersenyum riang seakan tak ada yang dapat menghapus senyum yang terukir diwajahnya untuk selamanya. “I love you, Nico. Always.” gumamnya. Ia mulai tenggelam dalam dunianya. Melukis pelangi terindah sepanjang hidupnya.

By : Permata

0 komentar:

Posting Komentar

COME TO MY BLOG AGAINCOME TO MY BLOG AGAIN
COME TO MY BLOG AGAINCOME TO MY BLOG AGAIN