Welcome to My Blog

Sabtu, 14 Mei 2011

Sedih Tanpa Dendam


Aku ingin menangis, tapi tetap saja air mata ini kutahan. Biarlah jeritan tangis dalam hati hanya aku yang mendengarkannya.
Aku pulang ketempat kos dengan semangat yang sangat loyo, berlari tak mampu, jalan pun terkeok. Kurasakan beban yang dalam dalam hati. Beban yang tidak dapat mungkin kubagi dengan sembarangan orang. Beban yang hanya dapat disimpan dan dibingkai dalam diary kehidupan.
Aku malu untuk menceritakannya dengan orang lain. Ini bukan aib "kotor" atau najis. Tapi ini adalah sebuah ungkapan perasaan yang terpendam. Bingung sampai stress aku menanggapinya. Aku merasa ada yang salah dengan kejiwaanku. Batinku seakan meredup dari cahaya.

Beban "iri dan dengki" yang tidak bisa kuhindarkan, mungkin kata-kata yang paling pas untuk dilontarkan. Aku mengidap penyakit "iri" terhadap kebahagiaan orang lain. Menurut sisi realigi, penyakitku dapat digolongkan stadium empat. Perasaan "iri" yang kupunyai bukanlah sikap kejam dan kasar yang terlontarkan seperti dalam sinetron. Aku juga bukan seorang bawang merah yang mencelakai bawang putih. Bukan anak tiri pada cinderella. Aku hanya seseorang yang merasa mampu melakukan sesuatu secara lebih baik dari orang lain, aku merasa mampu melakukan hal yang oranglain tidak dapat lakukan. Tapi aku akan merasa jatuh terlukup jika ternyata hasilnya berbeda.
Sejak kecil, aku terbiasa belajar dengan giat. segala jenis buku aku pelajari. Waktu luangku habis untuk membaca dan membaca. Tidak heran aku selalu menjadi juara disetiap kelas. nilai yang jelek bagaikan semburan api panas padaku. Aku akan menangis tersedu-sedu jika melihat angka yang tidak aku harapkan muncul pada kertas ujianku. Bagi temanku aku aneh, sangat terobsesi untuk menjadi orang pintar. Bagiku, aku tidak memerlukan teman yang tidak bisa kuanggap belajar. Tidak heran, aku hanya mempunyai sedikit teman.
Beranjak akhir SMP, aku mulai lelah dengan belajar. Aku sangat marah jika kesempatan yang aku yakini bisa menjalankannya diserahkan pada orang lain, seperti berbagai lomba dan kepanitiaan. Aku menjadi orang yang egois dengan duniaku. Teman-teman yang tahu bagaimana sikapku sangat jarang mengajakku keluar. Padahal aku mempunyai langganan majalah remaja, kuanggap sebagai pedoanku tentu saja.
Aku tidak terlihat seperti kutu buku, tidak berkaca mata tebal, tidak memakai pakaian kuno dan kawat gigi. Banyak yang bilang aku hampir sempurna dengan perawakanku dan tentu saja otak cemerlangku. Tapi mereka tentu saja menyayangkan kesendirianku, keegoisan dan sifat tertutupku. Dari beberapa orang terdekat yang aku percaya, sebenarnya ada beberapa anak cowok yang mencoba mendekatiku tetapi mereka memilih untuk lari. HUfh...siapa yang butuh mereka? pikirku santai. Hidupku masih panjang dan aku pasti bisa menemukan cowok, lagipula pacaran hanyalah hal yang tidak berguna.
Aku mendapatkan beasiswa meneruskan ke SMA paling Favourite di daerahku setelah nilai hasil ujianku menempati posisi teratas di sekolah. Aku mulai pisah dengan orang tua dan keluargaku karena harus tinggal di asrama khusus bagi pelajar yang menyandang beasiswa. Awalnya tinggal di asrama seperti hal yang tidak perlu kutakutkan, bukankah yang mendapatkan beasiswa adalah orang yang terpilih? sehingga jika terus belajar pun tidak akan menjadi seseorang yang teralienisasi. Berminggu-minggu terlewati. Ternyata kejadian yang kuharapkan berbeda.
Di dalam asrama akan sangat sulit jika kita tidak terbuka pada orang lain. Akan sangat berebeda jika kita hanya belajar dan belajar tanpa bercengkrama dengan orang lain. Akan sangat aneh jika kita terbiasa mengerjakan tugas dengan sendiri. Kita akan dianggap beda jika tertutup dan tidak melakukan aktifitas apapun, tidak mengikuti kegiatan ekstrakulikuler dan hanya menyendiri di kamar.
Aku mulai stress dengan pikiranku sendiri, berat badanku terus turun dan mataku mulai rabun. Aku semakin tertekan saat teman-teman yang lain duduk santai sementara aku belajar untuk menghadapi ujian yang datangnya setengah bulan lagi. Aku tidak terbiasa ber "haha-hihi" dimalam hari. aku tidak terbiasa bergadang.....oooo! semua ini membuatku stress.
Beban dalam hatiku bertambah saat nilai-nilai ulanganku mulai jeblok. Aku yang tidak terbiasa mendapat nilai dibawah rata-rata secara spontan syok berat. bagaimana bisa teman-temanku yang biasanya masih ber "haha-hihi" bisa mendapat niali yang lebih tinggi dariku? kesehatanku mulai menurun saat raport dibagikan. Nilai-nilaiku ternyata jauh tertinggal dari mereka.
 DAn aku mulai jatuh sakit dan terpaksa dirawat di rumah sakit. Padahal lima hari lagi adalah proses seleksi untuk olympiade. Saat melihat keadaanku, orang tuaku menasihati untuk menjalani hidupku dengan santai dan tidak terlalu menjadikan target 8untuk dijadikan beban agar dipenuhi.
Teman-teman yang ku anggap "jahat" padaku, datang untuk menengok. Ada sisi lain yang kutangkap saat aku dirumah sakit.
Aku kembali datang ke asrama setelah keadaanku sembuh. Aku melepas seleksi olympiade itu, aku mulai merasakan iri yang menjadi beban itu patut ku perbaharui. sangat diperbaiki.


Jumat, 06 Mei 2011

Pengorbanan Seorang Ibu


Jalannya sudah tertatih-tatih, karena usianya sudah lebih dari 70 tahun, sehingga kalau tidak perlu sekali, jarang ia bisa dan mau keluar rumah. Walaupun ia mempunyai seorang anak perempuan, ia harus tinggal di rumah jompo, karena kehadirannya tidak diinginkan. Masih teringat olehnya, betapa berat penderitaannya ketika akan melahirkan putrinya tersebut. Ayah dari anak tersebut minggat setelah menghamilinya tanpa mau bertanggung jawab atas perbuatannya. Di samping itu keluarganya menuntut agar ia menggugurkan bayi yang belum dilahirkan, karena keluarganya merasa malu mempunyai seorang putri yang hamil sebelum nikah, tetapi ia tetap mempertahankannya, oleh sebab itu ia diusir dari rumah orang tuanya.

Selain aib yang harus di tanggung, ia pun harus bekerja berat di pabrik untuk membiayai hidupnya. Ketika ia melahirkan putrinya, tidak ada seorang pun yang mendampinginya. Ia tidak mendapatkan kecupan manis maupun ucapan selamat dari siapapun juga, yang ia dapatkan hanya cemohan, karena telahelahirkan seorang bayi haram tanpa bapa. Walaupun demikian ia merasa bahagia sekali atas berkat yang didapatkannya dari Tuhan di mana ia telah dikaruniakan seorang putri. Ia berjanji akan memberikan seluruh kasih sayang yang ia miliki hanya untuk putrinya seorang, oleh sebab itulah putrinya diberi nama Love - Kasih.

Siang ia harus bekerja berat di pabrik dan di waktu malam hari ia harus menjahit sampai jauh malam, karena itu merupakan penghasilan tambahan yang ia bisa dapatkan. Terkadang ia harus menjahit sampai jam 2 pagi, tidur lebih dari 4 jam sehari itu adalah sesuatu kemewahan yang tidak pernah ia dapatkan. Bahkan Sabtu Minggu pun ia masih bekerja menjadi pelayan restaurant. Ini ia lakukan semua agar ia bisa membiayai kehidupan maupun biaya sekolah putrinya yang tercinta. Ia tidak mau menikah lagi, karena ia masih tetap mengharapkan, bahwa pada suatu saat ayah dari putrinya akan datang balik kembali kepadanya, di samping itu ia tidak mau memberikan ayah tiri kepada putrinya.

Sejak ia melahirkan putrinya ia menjadi seorang vegetarian, karena ia tidak mau membeli daging, itu terlalu mahal baginya, uang untuk daging yang seyogianya ia bisa beli, ia sisihkan untuk putrinya. Untuk dirinya sendiri ia tidak pernah mau membeli pakaian baru, ia selalu menerima dan memakai pakaian bekas pemberian orang, tetapi untuk putrinya yang tercinta, hanya yang terbaik dan terbagus ia berikan, mulai dari pakaian sampai dengan makanan.

Pada suatu saat ia jatuh sakit, demam panas. Cuaca di luaran sangat dingin sekali, karena pada saat itu lagi musim dingin menjelang hari Natal. Ia telah menjanjikan untuk memberikan sepeda sebagai hadiah Natal untuk putrinya, tetapi ternyata uang yang telah dikumpulkannya belum mencukupinya. Ia tidak ingin mengecewakan putrinya, maka dari itu walaupun cuaca diluaran dingin sekali, bahkan dlm keadaan sakit dan lemah, ia tetap memaksakan diri untuk keluar rumah dan bekerja. Sejak saat tersebut ia kena penyakit rheumatik, sehingga sering sekali badannya terasa sangat nyeri sekali. Ia ingin memanjakan putrinya dan memberikan hanya yang terbaik bagi putrinya walaupun untuk ini ia harus bekorban, jadi dlm keadaan sakit ataupun tidak sakit ia tetap bekerja, selama hidupnya ia tidak pernah absen bekerja demi putrinya yang tercinta.

Karena perjuangan dan pengorbanannya akhirnya putrinya bisa melanjutkan studinya diluar kota. Di sana putrinya jatuh cinta kepada seorang pemuda anak dari seorang konglomerat beken. Putrinya tidak pernah mau mengakui bahwa ia masih mempunyai orang tua. Ia merasa malu bahwa ia ditinggal minggat oleh ayah kandungnya dan ia merasa malu mempunyai seorang ibu yang bekerja hanya sebagai babu pencuci piring di restaurant. Oleh sebab itulah ia mengaku kepada calon suaminya bahwa kedua orang tuanya sudah meninggal dunia.

Pada saat putrinya menikah, ibunya hanya bisa melihat dari jauh dan itupun hanya pada saat upacara pernikahan di gereja saja. Ia tidak diundang, bahkan kehadirannya tidaklah diinginkan. Ia duduk di sudut kursi paling belakang di gereja, sambil mendoakan agar Tuhan selalu melindungi dan memberkati putrinya yang tercinta. Sejak saat itu bertahun-tahun ia tidak mendengar kabar dari putrinya, karena ia dilarang dan tidak boleh menghubungi putrinya. Pada suatu hari ia membaca di koran bahwa putrinya telah melahirkan seorang putera, ia merasa bahagia sekali mendengar berita bahwa ia sekarang telah mempunyai seorang cucu. Ia sangat mendambakan sekali untuk bisa memeluk dan menggendong cucunya, tetapi ini tidak mungkin, sebab ia tidak boleh menginjak rumah putrinya. Untuk ini ia berdoa tiap hari kepada Tuhan, agar ia bisa mendapatkan kesempatan untuk melihat dan bertemu dengan anak dan cucunya, karena keinginannya sedemikian besarnya untuk bisa melihat putri dan cucunya, ia melamar dengan menggunakan nama palsu untuk menjadi babu di rumah keluarga putrinya.

Ia merasa bahagia sekali, karena lamarannya diterima dan diperbolehkan bekerja disana. Di rumah putrinya ia bisa dan boleh menggendong cucunya, tetapi bukan sebagai Oma dari cucunya melainkan hanya sebagai babu dari keluarga tersebut. Ia merasa berterima kasih sekali kepada Tuhan, bahwa ia permohonannya telah dikabulkan.

Di rumah putrinya, ia tidak pernah mendapatkan perlakuan khusus, bahkan binatang peliharaan mereka jauh lebih dikasihi oleh putrinya daripada dirinya sendiri. Di samping itu sering sekali dibentak dan dimaki oleh putri dan anak darah dagingnya sendiri, kalau hal ini terjadi ia hanya bisa berdoa sambil menangis di dlm kamarnya yang kecil di belakang dapur. Ia berdoa agar Tuhan mau mengampuni kesalahan putrinya, ia berdoa agar hukuman tidak dilimpahkan kepada putrinya, ia berdoa agar hukuman itu dilimpahkan saja kepadanya, karena ia sangat menyayangi putrinya.

Setelah bekerja bertahun-tahun sebagai babu tanpa ada orang yang mengetahui siapa dirinya dirumah tersebut, akhirnya ia menderita sakit dan tidak bisa bekerja lagi. Mantunya merasa berhutang budi kepada pelayan tuanya yang setia ini sehingga ia memberikan kesempatan untuk menjalankan sisa hidupnya di rumah jompo.

Puluhan tahun ia tidak bisa dan tidak boleh bertemu lagi dengan putri kesayangannya. Uang pension yang ia dapatkan selalu ia sisihkan dan tabung untuk putrinya, dengan pemikiran siapa tahu pada suatu saat ia membutuhkan bantuannya.

Pada tahun lampau beberapa hari sebelum hari Natal, ia jatuh sakit lagi, tetapi ini kali ia merasakan bahwa saatnya sudah tidak lama lagi. Ia merasakan bahwa ajalnya sudah mendekat. Hanya satu keinginan yang ia dambakan sebelum ia meninggal dunia, ialah untuk bisa bertemu dan boleh melihat putrinya sekali lagi. Di samping itu ia ingin memberikan seluruh uang simpanan yang ia telah kumpulkan selama hidupnya, sebagai hadiah terakhir untuk putrinya.

Suhu diluaran telah mencapai 17 derajat di bawah nol dan salujupun turun dengan lebatnya, jangankan manusia anjingpun pada saat ini tidak mau keluar rumah lagi, karena di luaran sangat dingin, tetapi Nenek tua ini tetap memaksakan diri untuk pergi ke rumah putrinya. Ia ingin betemu dengan putrinya sekali lagi yang terakhir kali. Dengan tubuh menggigil karena kedinginan, ia menunggu datangnya bus berjam-jam di luaran. Ia harus dua kali ganti bus, karena jarak rumah jompo tempat di mana ia tinggal letaknya jauh dari rumah putrinya. Satu perjalanan yang jauh dan tidak mudah bagi seorang nenek tua yang berada dlm keadaan sakit.

Setiba di rumah putrinya dlm keadaan lelah dan kedinginan ia mengetuk rumah putrinya dan ternyata purtinya sendiri yang membukakan pintu rumah gedong di mana putrinya tinggal. Apakah ucapan selamat datang yang diucapkan putrinya ? Apakah rasa bahagia bertemu kembali dengan ibunya? Tidak! Bahkan ia ditegor: "Kamu sudah bekerja di rumah kami puluhan tahun sebagai pembantu, apakah kamu tidak tahu bahwa untuk pembantu ada pintu khusus, ialah pintu di belakang rumah!"

"Nak, Ibu datang bukannya untuk bertamu melainkan hanya ingin memberikan hadiah Natal untukmu. Ibu ingin melihat kamu sekali lagi, mungkin yang terakhir kalinya, bolehkah saya masuk sebentar saja, karena di luaran dingin sekali dan sedang turun salju. Ibu sudah tidak kuat lagi nak!" kata wanita tua itu.

"Maaf saya tidak ada waktu, di samping itu sebentar lagi kami akan menerima tamu seorang pejabat tinggi, lain kali saja. Dan kalau lain kali mau datang telepon dahulu, jangan sembarangan datang begitu saja!" ucapan putrinya dengan nada kesal. Setelah itu pintu ditutup dengan keras. Ia mengusir ibu kandungnya sendiri, seperti juga mengusir seorang pengemis.

Tidak ada rasa kasih, jangankan kasih, belas kasihanpun tidak ada. Setelah beberapa saat kemudian bel rumah bunyi lagi, ternyata ada orang mau pinjam telepon di rumah putrinya "Maaf Bu, mengganggu, bolehkah kami pinjam teleponnya sebentar untuk menelpon ke kantor polisi, sebab di halte bus di depan ada seorang nenek meninggal dunia, rupanya ia mati kedinginan!"

Wanita tua ini mati bukan hanya kedinginan jasmaniahnya saja, tetapi juga perasaannya. Ia sangat mendambakan sekali kehangatan dari kasih sayang putrinya yang tercinta yang tidak pernah ia dapatkan selama hidupnya.

Seorang Ibu melahirkan dan membesarkan anaknya dengan penuh kasih sayang tanpa mengharapkan pamrih apapun juga. Seorang Ibu bisa dan mampu memberikan waktunya 24 jam sehari bagi anak-anaknya, tidak ada perkataan siang maupun malam, tidak ada perkataan lelah ataupun tidak mungkin dan ini 366 hari dlm setahun. Seorang Ibu mendoakan dan mengingat anaknya tiap hari bahkan tiap menit dan ini sepanjang masa. Bukan hanya setahun sekali saja pada hari-hari tertentu. Kenapa kita baru bisa dan mau memberikan bunga maupun hadiah kepada Ibu kita hanya pada waktu hari Ibu saja "Mother's Day" sedangkan di hari-hari lainnya tidak pernah mengingatnya, boro-boro memberikan hadiah, untuk menelpon saja kita tidak punya waktu.

Kita akan bisa lebih membahagiakan Ibu kita apabila kita mau memberikan sedikit waktu kita untuknya, waktu nilainya ada jauh lebih besar daripada bunga maupun hadiah. Renungkanlah: Kapan kita terakhir kali menelpon Ibu? Kapan kita terakhir mengundang Ibu? Kapan terakhir kali kita mengajak Ibu jalan-jalan? Dan kapan terakhir kali kita memberikan kecupan manis dengan ucapan terima kasih kepada Ibu kita? Dan kapankah kita terakhir kali berdoa untuk Ibu kita?

Berikanlah kasih sayang selama Ibu kita masih hidup, percuma kita memberikan bunga maupun tangisan apabila Ibu telah berangkat, karena Ibu tidak akan bisa melihatnya lagi.


COME TO MY BLOG AGAINCOME TO MY BLOG AGAIN
COME TO MY BLOG AGAINCOME TO MY BLOG AGAIN