Sejarah dan Sistem Politik di Indonesia, Pembangunan Ekonomi Daerah dalam Konteks Pemulihan Ekonomi Nasional, Lingkungan Sosial dan Budaya
Sejarah Sistem Politik Indonesia
bisa dilihat dari proses politik yang terjadi di dalamnya. Namun dalam
menguraikannya tidak cukup sekedar melihat sejarah Bangsa Indonesia
tapi diperlukan analisis sistem agar lebih efektif. Dalam proses
politik biasanya di dalamnya terdapat interaksi fungsional yaitu proses
aliran yang berputar menjaga eksistensinya. Sistem politik merupakan
sistem yang terbuka, karena sistem ini dikelilingi oleh lingkungan yang
memiliki tantangan dan tekanan.
Dalam
melakukan analisis sistem bisa dengan pendekatan satu segi pandangan
saja seperti dari sistem kepartaian, tetapi juga tidak bisa dilihat
dari pendekatan tradisional dengan melakukan proyeksi sejarah yang
hanya berupa pemotretan sekilas. Pendekatan yang harus dilakukan dengan
pendekatan integratif yaitu pendekatan sistem, pelaku-saranan-tujuan
dan pengambilan keputusan
Proses
politik mengisyaratkan harus adanya kapabilitas sistem. Kapabilitas
sistem adalah kemampuan sistem untuk menghadapi kenyataan dan
tantangan. Pandangan mengenai keberhasilan dalam menghadapi tantangan
ini berbeda diantara para pakar politik. Ahli politik zaman klasik
seperti Aristoteles dan Plato dan diikuti oleh teoritisi liberal abad
ke-18 dan 19 melihat prestasi politik dikuru dari sudut moral.
Sedangkan pada masa modern sekarang ahli politik melihatnya dari
tingkat prestasi (performance level) yaitu seberapa besar pengaruh
lingkungan dalam masyarakat, lingkungan luar masyarakat dan lingkungan
internasional.
Pengaruh
ini akan memunculkan perubahan politik. Adapun pelaku perubahan politik
bisa dari elit politik, atau dari kelompok infrastruktur politik dan
dari lingkungan internasional.
Perubahan
ini besaran maupun isi aliran berupa input dan output. Proes
mengkonversi input menjadi output dilakukan oleh penjaga gawang
(gatekeeper).
Terdapat 5 kapabilitas yang menjadi penilaian prestasi sebuah sistem politik :
1.
Kapabilitas Ekstraktif, yaitu kemampuan Sumber daya alam dan sumber
daya manusia. Kemampuan SDA biasanya masih bersifat potensial sampai
kemudian digunakan secara maksimal oleh pemerintah. Seperti pengelolaan
minyak tanah, pertambangan yang ketika datang para penanam modal
domestik itu akan memberikan pemasukan bagi pemerintah berupa pajak.
Pajak inilah yang kemudian menghidupkan negara.
2.
Kapabilitas Distributif. SDA yang dimiliki oleh masyarakat dan negara
diolah sedemikian rupa untuk dapat didistribusikan secara merata,
misalkan seperti sembako yang diharuskan dapat merata distribusinya
keseluruh masyarakat. Demikian pula dengan pajak sebagai pemasukan
negara itu harus kembali didistribusikan dari pemerintah pusat ke
pemerintah daerah.
3.
Kapabilitas Regulatif (pengaturan). Dalam menyelenggaran pengawasan
tingkah laku individu dan kelompok maka dibutuhkan adanya pengaturan.
Regulasi individu sering memunculkan benturan pendapat. Seperti ketika
pemerintah membutuhkan maka kemudian regulasi diperketat, hal ini
mengakibatkan keterlibatan masyarakat terkekang.
4.
kapabilitas simbolik, artinya kemampuan pemerintah dalam berkreasi dan
secara selektif membuat kebijakan yang akan diterima oleh rakyat.
Semakin diterima kebijakan yang dibuat pemerintah maka semakin baik
kapabilitas simbolik sistem.
5.
kapabilitas responsif, dalam proses politik terdapat hubungan antara
input dan output, output berupa kebijakan pemerintah sejauh mana
dipengaruhi oleh masukan atau adanya partisipasi masyarakat sebagai
inputnya akan menjadi ukuran kapabilitas responsif.
6.
kapabilitas dalam negeri dan internasional. Sebuah negara tidak bisa
sendirian hidup dalam dunia yang mengglobal saat ini, bahkan sekarang
banyak negara yang memiliki kapabilitas ekstraktif berupa perdagangan
internasional. Minimal dalam kapabilitas internasional ini negara kaya
atau berkuasa (superpower) memberikan hibah (grants) dan pinjaman
(loan) kepada negara-negara berkembang.
a. Pembangunan politik masyarakat berupa mobilisasi, partisipasi atau pertengahan. Gaya
agregasi kepentingan masyarakat ini bisa dilakukans ecara tawaran
pragmatik seperti yang digunakan di AS atau pengejaran nilai yang
absolut seperti di Uni Sovyet atau tradisionalistik.
b. Pembangunan politik pemerintah berupa stabilitas politik
PROSES POLITIK DI INDONESIA
Sejarah Sistem politik Indonesia dilihat dari proses politiknya bisa dilihat dari masa-masa berikut ini:
- Masa prakolonial
- Masa kolonial (penjajahan)
- Masa Demokrasi Liberal
- Masa Demokrasi terpimpin
- Masa Demokrasi Pancasila
- Masa Reformasi
Masing-masing masa tersebut kemudian dianalisis secara sistematis dari aspek :
· Penyaluran tuntutan
· Pemeliharaan nilai
· Kapabilitas
· Integrasi vertikal
· Integrasi horizontal
· Gaya politik
· Kepemimpinan
· Partisipasi massa
· Keterlibatan militer
· Aparat negara
· Stabilitas
Bila diuraikan kembali maka diperoleh analisis sebagai berikut :
1. Masa prakolonial (Kerajaan)
· Penyaluran tuntutan – rendah dan terpenuhi
· Pemeliharaan nilai – disesuikan dengan penguasa atau pemenang peperangan
· Kapabilitas – SDA melimpah
· Integrasi vertikal – atas bawah
· Integrasi horizontal – nampak hanya sesama penguasa kerajaan
· Gaya politik - kerajaan
· Kepemimpinan – raja, pangeran dan keluarga kerajaan
· Partisipasi massa – sangat rendah
· Keterlibatan militer – sangat kuat karena berkaitan dengan perang
· Aparat negara – loyal kepada kerajaan dan raja yang memerintah
· Stabilitas – stabil dimasa aman dan instabil dimasa perang
2. Masa kolonial (penjajahan)
· Penyaluran tuntutan – rendah dan tidak terpenuhi
· Pemeliharaan nilai – sering terjadi pelanggaran ham
· Kapabilitas – melimpah tapi dikeruk bagi kepentingan penjajah
· Integrasi vertikal – atas bawah tidak harmonis
· Integrasi horizontal – harmonis dengan sesama penjajah atau elit pribumi
· Gaya politik – penjajahan, politik belah bambu (memecah belah)
· Kepemimpinan – dari penjajah dan elit pribumi yang diperalat
· Partisipasi massa – sangat rendah bahkan tidak ada
· Keterlibatan militer – sangat besar
· Aparat negara – loyal kepada penjajah
· Stabilitas – stabil tapi dalam kondisi mudah pecah
3. Masa Demokrasi Liberal
· Penyaluran tuntutan – tinggi tapi sistem belum memadani
· Pemeliharaan nilai – penghargaan HAM tinggi
· Kapabilitas – baru sebagian yang dipergunakan, kebanyakan masih potensial
· Integrasi vertikal – dua arah, atas bawah dan bawah atas
· Integrasi horizontal- disintegrasi, muncul solidarity makers dan administrator
· Gaya politik - ideologis
· Kepemimpinan – angkatan sumpah pemuda tahun 1928
· Partisipasi massa – sangat tinggi, bahkan muncul kudeta
· Keterlibatan militer – militer dikuasai oleh sipil
· Aparat negara – loyak kepada kepentingan kelompok atau partai
· Stabilitas - instabilitas
4. Masa Demokrasi terpimpin
· Penyaluran tuntutan – tinggi tapi tidak tersalurkan karena adanya Front nas
· Pemeliharaan nilai – Penghormatan HAM rendah
· Kapabilitas – abstrak, distributif dan simbolik, ekonomi tidak maju
· Integrasi vertikal – atas bawah
· Integrasi horizontal – berperan solidarity makers,
· Gaya politik – ideolog, nasakom
· Kepemimpinan – tokoh kharismatik dan paternalistik
· Partisipasi massa - dibatasi
· Keterlibatan militer – militer masuk ke pemerintahan
· Aparat negara – loyal kepada negara
· Stabilitas - stabil
5. Masa Demokrasi Pancasila
· Penyaluran tuntutan – awalnya seimbang kemudian tidak terpenuhi karena fusi
· Pemeliharaan nilai – terjadi Pelanggaran HAM tapi ada pengakuan HAM
· Kapabilitas – sistem terbuka
· Integrasi vertikal – atas bawah
· Integrasi horizontal - nampak
· Gaya politik – intelek, pragmatik, konsep pembangunan
· Kepemimpinan – teknokrat dan ABRI
· Partisipasi massa – awalnya bebas terbatas, kemudian lebih banyak dibatasi
· Keterlibatan militer – merajalela dengan konsep dwifungsi ABRI
· Aparat negara – loyal kepada pemerintah (Golkar)
· Stabilitas stabil
6. Masa Reformasi
· Penyaluran tuntutan – tinggi dan terpenuhi
· Pemeliharaan nilai – Penghormatan HAM tinggi
· Kapabilitas –disesuaikan dengan Otonomi daerah
· Integrasi vertikal – dua arah, atas bawah dan bawah atas
· Integrasi horizontal – nampak, muncul kebebasan (euforia)
· Gaya politik - pragmatik
· Kepemimpinan – sipil, purnawiranan, politisi
· Partisipasi massa - tinggi
· Keterlibatan militer - dibatasi
· Aparat negara – harus loyal kepada negara bukan pemerintah
· Stabilitas – instabil
SISTEM POLITIK DAN PEMERINTAHAN DI INDONESIA
Materi
Sistem Politik dan Pemerintahan Indonesia yang merupakan Modul 2 dari
pelaksanaan Simpul Demokrasi menjadi agenda pelaksanaan Sekolah
Demokrasi V Detail materi yang dilaksanakan selama pelaksanaan 2 hari
sekolah demokrasi tersebut, meliputi: Sistem Politik, Kepartaian dan
Pemilu di Indonesia yang disampaikan oleh penulis modul langsung Prof.
DR. Ichlasul Amal, “Bentuk Negara dan Bentuk Pemerintahan dalam
Demokrasi” yang disampaikan oleh Drs. Luqman Hakim, M.Sc dan
“Desentraliasi Sistem Pemerintahan” oleh DR. Mas’ud Said. Sedangkan
materi tentang “Klasifikasi Struktur Organisasi Negara” disampaikan
melalui metode diskusi kelompok yang dipandu oleh Fasilitator. Begitu
pula dengan materi “Pemberdayaan DPR dalam Demokrasi” dilakukan dengan
bermain peran dan diskusi kelompok.
Kegiatan
dimulai pada 27 Mei 2006, Kegiatan ini dihadiri oleh 20 orang peserta
dari 25 orang peserta simpul demokrasi, yaitu; Ainul Yaqin, Any
Rufaidah, Ari Wahyu Astuti, Azizah Hefni, Eko Budi Prasetyo, H. M.
Taqrib, Hasan Abadi, Henry Wira Novianto, Isnaini Rahayu, Khofidah, M.
Wahyu Trihariadi, Samsul Arifin, Syahrotsa
Rahmania, Zany Pria Romadudin, Andry Dewanto, Hikmah Bafaqih, M. Najib
Ghoni, M. Nor Muhlas, Dewi Masita, dan M. Munir Aly. Peserta tetap yang
tidak hadir adalah 5 orang adalah Daniel E. Molindo, Imron Rosyadi, M.
Munir, Siyadi (Izin tidak hadir), dan Gunawan (izin tidak hadir karena
ada pelatihan di Jakarta ).
Peserta tidak tetap 3 orang yang hadir diantaranya; Setyo Wahyudi,
Marsudi, Anis Wahyu Harnanik. Kegiatan ini diawali dengan kegiatan
pembinaan suasana dengan ice breaking yang dipandu oleh fasilitator.
Ice breaking yang dilakukan adalah dengan menebak identitas teman
sesama peserta. Fasilitator membagikan form kepada masing-masing
peserta yang berisi pertanyaan yang terkait dengan data diri peserta,
yang meliputi umur, hoby, yang disukai, yang tidak disukai dan
sebagainya. Setelah peserta mengisi form tersebut, kemudian fasilitator
mengumpulkan dan membagikan kembali secara acak kepada masing-masing
peserta, lalu fasilitator meminta setiap peserta secara bergiliran
untuk membaca form isian yang diterimanya dan menebak identitas
siapakah yang tertulis dalam form yang diterimanya. Game ini
dilaksanakan bertujuan untuk lebih mempererat ikatan antar peserta
dengan lebih mengenal karakter masing-masing peserta di samping
bertujuan untuk mencairkan suasana sebelum masuk pada materi inti.
Diskusi
kelompok tentang prawacana tentang materi tentang sistem politik dan
pemerintah (hal 6 dan hal 11 modul) yang dibahas oleh kelompok 1 dan
materi tentang Klasifikasi Struktur Organisasi Negara dan Pemerintahan
(hal 42 dan 45 modul) dibahas oleh kelompok 2. Setelah dilakukan
diskusi kelompok dilakukan diskusi kelas yang dipandu oleh fasilitator
dengan cara masing-masing kelompok mempresentasikan hasil diskusi
kelompoknya. Kelompok satu menyampaikan bahwa permasalahan yang terjadi
di Indonesia disebabkan oleh tidak berjalannya
fungsi-fungsi Negara yang banyak diperankankan oleh eksekutif bersama
legislative, dalam konteks perumusan kebijakan public actor yang paling
banyak berperan justru invisible hand yaitu kelompok pemilik modal.
Struktur partai politik yang lebih didominasi oleh DPP seringkali
memasung otonomi yang dimiliki oleh struktur partai yang ada di daerah.
Dicontohkan dalam hal ini oleh kelompok satu adalah pada saat penetapan
calon Kepala Daerah. Kelompok dua mencoba menguraikan beberapa
kalsifikasi terhadap bentuk Negara dan bentuk pemerintahan. Inti
kesimpulan dari apa yang disampaikan oleh kelompok dua adalah apapun
bentuk Negara maupun pemerintahan, yang penting bagi rakyat adalah
kesejahteraan. Peserta dari kegiatan ini sangat aktif dan respon
terhadap materi Sistem Politik dan Pemerintahan Indonesia , karena materi ini sesuai dengan perpolitikan, kepartaian, dan sistem pemerintahan Indonesia .
Selain itu, mayoritas peserta Sekolah Demokrasi ini adalah pelaku aktor
dari berbagai organisasi politik dan kemasyarakatan, sehingga bisa
dikatakan tepat.
Sesi materi tentang Sistem Kepartaian dan Pemilu disampaikan oleh Prof. Ichlasul Amal yang lebih banyak bercerita tentang kondisi empiris bagaimana implementasi sistem kepartaian Indonesia
mulai sejak zaman Orde Baru dan pasca orde baru dengan sistem multi
partai. Narasumber juga banyak memberikan perbandingan dengan sistem
kepartaian di beberapa Negara seperti Jerman, Amerika dan Australia
termasuk Sistem Pemilunya. Forum berlangsung secara dinamis dan
interaktif. Beberapa pertanyaan kritis yang disampaikan peserta antara
lain adalah sebagai berikut: terkait dengan sistem distrik dan
proporsional kelebihan dan kelemahan, ada beberapa peserta yang
memberikan ilustrasi kasus-kasus Pemilu 2004 terkait dengan keberadaan
sistem distrik dan proporsional yang dilaksanakan setengah2 di
Indonesia.; Tentang hak recall juga sempat menjadi perdebatan serius
dalam forum tersebut, di mana disampaikan bahwa mestinya yang berhak
merecall anggota DPR/D adalah konstituennya dan justru bukan DPP serta
kejelasan ketentuan tentang recalling agar partai tidak seenaknya
merecall anggota DPR/D; Peserta ada juga yang memberikan refleksi
proses pemilu dan implementasi sistem kepartaian di Indonesia, lalu
muncul pertanyaan dari berbagai sistem kepartaian dan pemilu manakah
yang paling ideal?
Materi
tentang bentuk Negara dan pemerintahan disampaikan oleh Drs. Luqman
Hakim, M.Sc, yang lebih banyak bicara tentang Teori Demokrasi dari
masa-kemasa. Narasumber juga memberikan gambaran tentang berbagai warna
dan bentuk demokrasi di berbagai Negara barat seperti Inggris, Perancis
dan Amerika. Wacana yang berkembang dikalangan peserta tentang
Demokrasi Pancasila serta sistem demokrasi apa yang paling ideal untuk
diterapkan di Indonesia. Namun dari keseluruhan wacana yang berkembang
selama materi ini lebih banyak mengupas pada konsepsi dasar dari
prinsip-prinsip demokrasi, yang meliputi: bentuk pemerintahan banyak
orang, kesatuan tiga nilai: Kemerdekaan persamaan dan persaudaraan,
kompromi dan persuasi serta legitimasi berdasarkan dukungan oleh
masyarakat luas.
Materi
Pemberdayaan DPR dalam Demokratisasi difasilitasi dalam bentuk bermain
peran, dimaana peserta mensimulassikan proses pemilu dan bagaimana
membangun komunikasi politik dengan konstituen. Setelah terpilih
anggota legislative, maka disodorkan sebuah kasus kepada peserta
tentang pro dan kontra revisi UU Ketenagakerjaan, dimana peserta dibagi
menjadi kelompok yang mewakili buruh dan pengusaha. Menyikapi kondisi
tersebut, anggota legislatif terpilih diminta untuk menyikapi dengan
menggali aspirasi dan serta mengambil keputusan apakah menerima atau
menolak rencana revisi UU Ketenagakerjaan tersebut. Pembelajaran yang
diperoleh dari proses permainan peran tersebut menggambarkan realitas
kondisi parlemen di Indonesia . Pasca permainan peran diberikan pencerahan serta refleksi tentang kondisi parlemen saat ini.
Hari
ditutup dengan refleksi dan evaluasi terkait perjalanan program simpul
demokrasi di Kabupaten Malang yang dilakukan oleh semua peserta. Hasil
evaluasi meliputi bagimana dengan tingkat partisipasi, peserta yang
hadir memiliki komitmen bahwa keberadaan program ini sangat dibutuhkan
oleh peserta. Kalaupun ada beberapa sesi peserta tidak hadir
dikarenakan waktu yang berbenturan dengan aktivitas rutin dari peserta
Simpul Demokrasi.. Sehingga muncul wacana penggantian pelaksanaan
Sekolah Demokrasi dari setiap hari sabtu dan minggu menjadi dimulai
hari Jumat dan Sabtu, namun berbagai pandangan dan usulan peserta
tersebut tetap menyepakati jadwal semula, namun diterapkan mekanisme
surat ijin bila berhalangan hadir dalam kegiatan SD. Terkait dengan
materi-materi yang sudah disampaikan , menurut peserta seringkali
terjadi pengulangan materi-materi yang sudah disampaikan terdahulu,
contohnya seperti materi tentang bentuk Negara dan bentuk pemerintahan
dalam demokrasi yang pembahasan oleh narasumber cenderung lebih banyak
mengupas tema konsepsi demokrasi yang telah dibahas pada awal-awal
pertemuan SD.
Sesi
hari Minggu diawali dengan bina suasana, dan dilanjutkan dengan materi
tentang desentraliasi yang disampaikan oleh DR Mas’ud Said. Narasumber
banyak memberikan catatan-catatan perjalanan desentraliasi serta
fakta-fakta empirik perkembangan desentralisasi di Indonesia . Peserta banyak juga merefleksikan proses perjalanan desentralisasi di Indonesia dengan mengutarakan berbagai penyakit desentralisasi termasuk salah satunya adalah desentralisasi korupsi.
Sekolah
Demokrasi V diakhiri dengan koordinasi untuk melakukan advokasi
masyarakat dan investigasi terkait dengan pencemaran limbah di Malang
Selatan yang dipandu oleh salah seorang peserta sekolah.
PEMBANGUNAN EKONOMI DAERAH DALAM KONTEKS PEMULIHAN EKONOMI NASIONAL
Tema
kongres XIV ISEI ini, yaitu "Membangunan ekonomi daerah yang kompetitif
dan efisien dalam rangka pemulihan ekonomi nasional dan memperkokoh
kesatuan panjang", merupakan tema yang aktual dan sangat menantang.
Marilah
kita soroti masalah pembangunan ekonomi daerah dalam konteks pemulihan
ekonomi nasional. Proses pemulihan ini masih berjalan tersendat-sendat.
Banyak pihak memperkirakan bahwa proses ini masih akan panjang. Thesis "multiple equilibria" yang ditawarkan oleh Jeffrey Sachs dan Steven Radelet membantu menerangkan mengapa krisis ekonomi di Indonesia
telah menjadi krisis yang demikian meluas dan mendalam. Pada intinya,
krisis menjadi meluas dan mendalam karena faktor-faktor penularan (contagion), panik (panic) dan salah penanganan (mishandling). Tampaknya proses pemulihan ekonomi nasional juga ditandai oleh adanya "multiple equilibria". Ini bukan disebabkan oleh contagion tetapi oleh complacency; bukan oleh karena panic tetapi oleh karena faktor politics; tetapi mungkin sama-sama disebabkan oleh mishandling. Bila di waktu lalu mishandling itu bersumber pada faktor politik, kini mishandling juga disebabkan oleh faktor politik ditambah dengan incompetence.
Sejauh
ini yang banyak disoroti adalah pengaruh dari kepentingan politik dan
kepentingan kelompok terhadap proses pemulihan ekonomi. Intervensi
politik merupakan gangguan terbesar bagi pemulihan ekonomi. Intervensi
politik mempersulit pemberantasan KKN. Intervensi politik memperlambat,
bahkan bisa menghentikan, reformasi ekonomi. Intervensi politik
merupakan sumber distorsi ekonomi yang berdampak ekonomi yang luas.
Dalam suasana transisi kepemimpinan politik, sejak Mei 1998 hingga
Nopember 1999, intervensi politik cukup menonjol. Tetapi setelah kita
mempunyai pimpinan baru yang legitimate, intervensi politik tampaknya
masih akan kental, walaupun dalam bentuk yang berbeda dari sebelumnya.
Era yang kita masuki sekarang adalah suatu era politik yang ditandai
oleh gairah partisipasi yang besar dari partai-partai politik, baik
melalui DPR atau di luar DPR. Dinamika politik baru ini belum bisa dan
belum biasa membedakan antara pilihan politik yang luas dan kepentingan
politik yang sempit. Sementara itu naluri dan emosi cenderung
menggerakkan bandul pilihan kebijakan dari ekstrema yang satu ke
ekstrema yang lain.
Namun
politik hanyalah satu dari sejumlah faktor yang mempengaruhi proses
pemulihan ekonomi. Yang juga mempunyai pengaruh besar, tetapi kurang
mendapatkan perhatian, adalah faktor kelembagaan (termasuk perangkat
perundang-undangan dan hukum) dan kemampuan atau kapasitas (capacity). Politik, kelembagaan, dan kapasitas, kesemua itu mempengaruhi pengembangan kebijakan (policy development), yang pada gilirannya ikut menetapkan agenda, membentuk pola serta mewarnai pelaksanaan program pemulihan ekonomi.
Agenda,
pola serta program pemulihan ekonomi sebenarnya telah diletakkan sejak
pertama kali dirumuskan suatu Memorandum Ekonomi yang merupakan
lampiran dari Letter of Intent (LOI) Pemerintah Indonesia
kepada Dana Moneter Internasional (IMF) pada akhir Oktober 1997.
Program itu berjangka waktu 3 tahun. Kita tentu masih ingat dengan
jelas mengapa Memorandum Ekonomi itu berkali-kali harus direvisi dan
bahkan mengalami strengthening, yang tepatnya diterjemahkan sebagai
"pengketatan". Jika dipelajari sebab-sebab dan arah perubahan dari
rangkaian LOI selama ini akan segera terlihat bahwa proses pemulihan
ekonomi sejauh ini memang ditandai oleh "multiple equilibria".
Pengketatan
yang dimaksudkan di atas tercermin dalam perumusan program yang semakin
luas dan semakin rinci. Secara anekdotal pengketatan ini diungkapkan
sebagai penambahan pekerjaan rumah, semula untuk mengerjakan 10 soal
(dalam LOI pertama), kemudian ditambah menjadi 50 soal (dalam LOI
berikutnya), dan akhirnya menjadi 120 soal. Pekerjaan rumah itu terus
bertambah karena pekerjaan rumah yang sebelumnya tidak dikerjakan
dengan sungguh-sungguh. Agenda pemulihan menjadi semakin banyak dan
rumit. Pihak-pihak tertentu melihat LOI sebagai rangkaian
"kondisionalitas" (conditionality) yang dituntut oleh IMF dari Indonesia . Dari sudut penglihatan ini, anekdot yang lebih sinikal menggambarkan strengthening
itu sebagai penerapan disiplin yang terus meningkat (oleh IMF kepada
kita). Semula kita diperlakukan sebagai murid SMU, kemudian sebagai
murid SLU, lalu diperlakukan semakin ketat sebagai murid SD, atau
bahkan sebagai murid TK. Proses pernilaian (review) yang semula dijadwalkan sekali setiap enam bulan diperpendek menjadi sekali dalam dua bulan.
Tetapi LOI dan Memorandum Ekonomi itu sebenarnya adalah program Pemerintah Indonesia ,
hasil negosiasi dengan IMF. Dokter IMF yang kita panggil datang memang
membawa resepnya sendiri, dan sejak semula kita tahu obat apa yang akan
diberikan. Namun banyak mata agenda dalam program pemulihan ekonomi
itu, khususnya program reformasi struktural berasal dari kita sendiri,
dan merupakan kelanjutan dari proses reformasi yang kita laksanakan
sejak pertengahan tahun 1980an.
Walaupun
terjadi pengketatan, terutama dalam program reformasi struktural itu,
kondisi obyektif telah memungkinkan terjadinya "pelonggaran", seperti
tercermin dalam perubahan target APBN. Semula IMF menggariskan surplus
sebesar 1% PDB, target yang juga ditetapkan dalam program pemulihan
ekonomi Thailand .
Target ini diubah menjadi defisit sebesar 1% PDB, kemudian meningkat
menjadi 3,5% PDB dan 6% PDB, bahkan dirasakan menjadi terlalu longgar
ketika dimungkinkan defisit sebesar 8,5% PDB. Pemerintah sekarang
menetapkan sendiri target yang lebih ketat, yaitu defisit sebesar
kurang dari 5% PDB.
Faktor
politik tampaknya merupakan sebab mengapa IMF sering
dikambing-hitamkan. Tidak dapat disangkal bahwa dalam beberapa hal IMF
telah memberikan obat yang keliru dan yang termasuk fatal, seperti
likuidasi 16 bank pada tanggal 1 Nopember 1997, tanpa memperhitungkan
kemungkinan dampaknya yang ternyata begitu luas dan merugikan. Tetapi
persoalan utama dalam program pemulihan ini terdapat dalam
konstruksinya. Program pemulihan ekonomi, apakah melibatkan 10 atau 50
atau 120 mata agenda, seharusnya merupakan penurunan dari suatu
kerangka kebijakan yang koheren (coherent). Kondisi ekonomi
politik yang ada selama 33 bulan terakhir ini tampaknya belum
memungkinkan kita untuk merumuskan kerangka kebijakan tersebut.
Alhasil,
kita cenderung untuk begitu saja mengambil alih suatu kerangka
kebijakan yang berasal dari luar tanpa kita sendiri sempat untuk
mengembangkannya dan menyesuaikannya dengan kondisi kita.
Pemerintah
sekarang tampaknya sulit menjalankan program yang merupakan kelanjutan
dari program sebelumnya, apalagi program yang telah menjadi begitu
rinci. Bahkan sangat mungkin tim ekonomi dalam pemerintah sekarang
tidak mendukung paradigma ekonomi yang mendasari program tersebut.
Pertanyaannya adalah mengapa pemerintah baru ini tidak mengajukan
program yang lain? Pemerintah sekarang tampaknya juga berkeberatan jika
diperlukan sebagai murid TK karena kesalahan pemerintah terdahulu.
Tetapi mengapa pemerintah baru ini juga mengulangi kesalahan pemerintah
lama dengan tidak melaksanakan isi dari LOI-nya sendiri?
Apakah
pemerintah baru tidak merasa memiliki program itu? Kelemahan dalam
pengembangan kebijakan mungkin merupakan sebab utama mengapa program
pemulihan itu tidak diturunkan dari suatu paradigma ekonomi yang jelas
dan menjadi landasan dari kebijakan ekonomi pemerintah ini. Tanpa rasa
pemilikan (ownership) itu maka pelaksanaannya akan
tersendat-sendat. Salah satu contoh adalah kebijakan harga BBM.
Penyesuaian harga BBM digambarkan sebagai sesuatu yang dipaksakan oleh
IMF. Padahal, perbaikan dalam penetapan atau pembentukan harga BBM
merupakan kepentingan kita sendiri. Selama ini kita telah terjebak
dalam kebijakan populis yang salah kaprah. Harga BBM dibuat semurah
mungkin dengan memberikan subsidi. Besarnya subsidi BBM ditentukan oleh
keadaan APBN dan bukan atas dasar pernilaian tentang kelayakan bagi
penerimanya. Ini berarti bahwa harga BBM ditetapkan atas dasar
kemampuan fiskal pemerintah dan mengabaikan kelangsungan penyediaannya
secara efisien. Karena itu persoalan penyediaan menjadi semakin kacau,
dan tidaklah mengherankan bila beban subsidi menjadi semakin
membengkak. Ironisnya, kebijakan subsidi itu semakin menjauhi prinsip
keadilan. Suatu program jangka menengah sudah lama diperlukan untuk
menyelesaikan masalah ini secara tuntas. Harga BBM di Indonesia sama
sekali tidak masuk akal baik bagi kelangsungan penyediaannya maupun
dilihat dari kaca mata pembangunan ekonomi dan lingkungan yang
berkelanjutan. Pemerintah bersama DPR memutuskan untuk menurunkan
subsidi secara selektif dan bertahap serta dengan memberikan kompensasi
bagi penduduk miskin. Menjelang penerapannya keputusan itu tiba-tiba
dibatalkan, antara lain dengan pertimbangan bahwa kondisi fiskal
memberikan peluang untuk melanjutkan kebijakan populis yang salah
kaprah itu. Pemerintah yang terjebak dalam kebijakan populis yang salah
kaprah ini akan menghadapi banyak kesulitan dalam proses memulihkan
ekonomi.
Kelemahan
dalam pengembangan kebijakan yang juga mempunyai pengaruh luas dan
dalam adalah yang menyangkut kebijakan pelepasan aset oleh BPPN.
Kebijakan memaksimalkan nilai perolehan tidak dapat diterapkan tanpa
suatu kriteria, tetapi memang tidak jelas apakah ada kriteria obyektif
yang dapat dipakai. Tetapi duduk persoalannya sudah jelas. Proses
pelepasan yang lambat juga memperlambat proses pemulihan ekonomi dan
membuat biaya restrukturisasi menjadi semakin tinggi. Bila diandaikan
bahwa secara rata-rata tingkat pengembalian maksimal yang dapat dicapai
adalah 32% dari nilai buku, mungkin perlu dibuat suatu kesepakatan
bahwa pelepasan segera dengan perolehan sebesar hanya 20 sampai 25%
merupakan pilihan kebijakan yang cukup masuk akal. Dalam pelaksanaan
tugasnya BPPN juga tidak boleh dibebani dengan kebijakan yang mempunyai
tujuan lain, misalnya suatu Indonesia-first policy atau suatu kebijakan
industri (industrial policy) dalam arti sempit. Kini terdapat
banyak godaan agar pemerintah menetapkan suatu kebijakan industri
dengan melihat kesempatan penerapannya karena BPPN menguasai aset
industri yang demikian besar. Pengalaman masa lalu dan juga dari negara
lain telah menunjukkan besarnya kerugian yang diderita dari penerapan
kebijakan industri oleh birokrasi.
Kelemahan
dalam konstruksi program pemulihan itu juga tercermin dalam apresiasi
yang rendah mengenai proses pembangunan kelembagaan dan kemampuan.
Suatu kebijakan persaingan (competition law) disiapkan dalam
waktu kurang dari satu tahun dan diundangkan tanpa ketegasan konsep dan
kejelasan mengenai perangkat kelembagaan yang bisa berfungsi. Proses
pembentukan peradilan niaga (bankruptcy court) juga demikian
sehingga menghasilan peradilan yang sama sekali tidak mempunyai
kredibilitas dan semakin memperparah proses restrukturisasi perbankan
dan dunia korporat yang sudah berjalan demikian lambat. Upaya
memperbaiki keadaan ini dengan mengangkat hakim ad hoc tidak akan
berhasil jika tidak dapat diberikan jaminan keselamatan bagi para hakim
ad hoc tersebut.
LOI
juga menetapkan untuk membuat Bank Indonesia (BI) menjadi suatu lembaga
yang independen, dan sejak setahun lalu BI sudah dinyatakan sebagai
lembaga independen. Tetapi hingga hari ini belum ada kejelasan,
termasuk mungkin bagi BI sendiri, apa yang diartikan sebagai lembaga
independen itu. Ini menjadi masalah karena kita memang belum mempunyai
tradisi di mana lembaga-lembaga pemerintahan yang independen
berinteraksi secara baik dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan.
Prinsip-prinsip penadbiran (governance) yang baik dapat
mengembangkan pola-pola interaksi ini, juga dengan melibat
pelaku-pelaku non-pemerintah. Prinsip-prinsip ini juga masih harus kita
kembangkan, mungkin pada awalnya dengan meminjam berbagai konsep dari
luar. LOI juga menetapkan mata agenda ini sebagai bagian dari proses
pemulihan ekonomi dan pembangunan jangka menengah.
Uraian
ini menunjukkan betapa pentingnya pengembangan kebijakan serta
pembangunan kelembagaan dan kemampuan dalam dan bagi proses pemulihan
ekonomi dan untuk menjamin pembangunan ekonomi berkelanjutan. Persoalan
ini telah menjadi semakin sulit dan rumit karena proses pemulihan kita
ini dilaksanakan dalam suatu era globalisasi yang tidak hanya
menyempitkan ruang tetapi juga menyusutkan waktu. Pembangunan
kelembagaan dan kemampuan membutuhkan waktu, tetapi kita dituntut untuk
meng-akselerasi proses ini agar bisa berpartisipasi dengan sukses dalam
ekonomi global. Sementara itu pengembangan kebijakan ekonomi, politik
dan sosial yang tepat untuk menghadapi globalisasi juga semakin
dipersulit oleh merebahnya gelombang "anti-globalisasi" yang penuh
retorika salah kaprah dan kerancuan yang bisa menyesatkan.
Dalam
konteks inilah kita dihadapkan pada persoalan membangun ekonomi daerah
yang kompetitif dan efisien. Marilah kita pelajari lebih dahulu
bagaimana kita menilai daya saing suatu ekonomi. Daya saing suatu
ekonomi tidak dapat dinyatakan oleh ukuran-ukuran parsimonial seperti Revealed Comparative Advantage
(RCA) yang berlaku untuk suatu komoditi tertentu dan bersifat ex post.
Suatu konsep yang lebih luas perlu dikembangkan, walau pun Paul Krugman
bersikeras bahwa konsep competitiveness bukanlah suatu konsep untuk
diterapkan pada suatu ekonomi (negara) tetapi lebih tepat bagi
perusahaan-perusahaan dalam ekonomi (negara) bersangkutan.
Setiap
tahun lembaga seperti World Economic Forum (WEF) dan International
Institute for Management Development (IIMD) menerbitkan daftar
peringkat daya saing internasional sejumlah negara. Indeks daya saing
itu ditetapkan berdasarkan pernilaian atas delapan kelompok
karakteristik struktural ekonomi bersangkutan. Kedelapan karakteristik
itu adalah: (1) keterbukaan terhadap perdagangan dan keuangan
internasional; (2) peran fiskal dan regulasi pemerintah; (3)
pembangunan pasar finansial; (4) kualitas infrastruktur; (5) kualitas
teknologi; (6) kualitas manajemen bisnis; (7) fleksibilitas pasar
tenaga kerja dan pembangunan sumber daya manusia; dan (8) kualitas
kelembagaan hukum dan politik. Menurut ukuran ini daya saing ekonomi
sebenarnya ditentukan oleh ketiga faktor tadi: kebijakan, kelembagaan
dan kemampuan. Pengembangan ketiga faktor ini merupakan kunci bagi
pembangunan ekonomi daerah yang kompetitf. Pada akhirnya kekuatan
kelembagaan dan kemampuan nasional seharusnya bukanlah yang dicerminkan
dengan yang terdapat di Jakarta tetapi dengan yang ada di seluruh Indonesia .
Daya saing ekonomi daerah tidak dapat dilihat dalam konteks nasional,
yaitu antar ekonomi daerah, tetapi harus dikembangkan dalam konteks
internasional. Karena itu tidak dapat dihindari bahwa pembangunan
ekonomi daerah harus diselenggarakan dengan pola yang secara tegas
berorientasi ke luar.
Dalam
tahun-tahun mendatang ini agenda pembangunan ekonomi daerah akan
didominasi oleh program desentralisasi dan pengembangan otonomi daerah.
Tujuan program ini jauh lebih luas dari pembangunan ekonomi daerah,
yaitu untuk meningkatkan rasa keadilan, mengembangkan partisipasi
rakyat dan suatu sistim sosial-politik yang demokratis, serta untuk
menjaga dan memperkokoh kesatuan bangsa. Pola desentralisasi dan
otonomi daerah yang dapat memenuhi semua tujuan itu tidak mudah untuk
dirancang. Tujuan-tujuan di atas ingin ditampung dalam UU No 22/1999
dan UU No 25/1999. Dalam berbagai masih terdapat berbagai kerancuan
dalam pelaksanaan program ini. Salah satu kerancuan terlihat dari
meningkatnya keraguan untuk memberikan otonomi pada daerah Tingkat II.
Pengalihan
kewenangan ke Tingkat II menjanjikan pengembangan partisipasi rakyat
dalam pembangunan dan pembangunan sistim yang semakin demokratis.
Tetapi otonomi di Tingkat II untuk beberapa tahun mendatang, mungkin
sampai 10 tahun, belum tentu menjamin terselenggaranya pembangunan
ekonomi daerah yang kompetitif dan efisien karena pengembangan
kebijakan dan pembangunan kelembagaan dan kemampuan di banyak daerah
Tingkat II akan membutuhkan waktu yang tidak singkat. Lemahnya
pengembangan kebijakan serta kelembagaan dan kemampuan di daerah sangat
tampak dari minimimnya prakarsa di daerah dan usulan-usulan yang datang
dari daerah untuk melaksanakan program desentralisasi dan otonomi
daerah. Di waktu lalu pembangunan daerah digagaskan dan dilaksanakan
terutama oleh pusat. Kini terdapat bahaya bahwa proses desentralisasi
juga akan diselenggarakan secara tersentralisasi.
Peranan
pusat mungkin akan tetap besar dalam bidang fiskal. Arsitektur fiskal
pola lama sangat timpang secara vertikal walaupun cukup seimbang secara
horizontal. Dorongan untuk merombak arsitektur ini sangat masuk akal
tetapi bila tidak dirancang dengan baik bisa menghasilkan artistektur
fiskal yang kurang timpang secara vertikal tetapi penuh dengan
ketimpangan secara horizontal. Suatu keseimbangan vertikal dan
horizontal merupakan prasyarat bagi terjaganya kesatuan bangsa. Dalam
rancangbangun baru peranan pusat untuk menjaga keseimbangan horizontal
itu dilakukan melalui Dana Alokasi Umum (DAU) yang mungkin akan tetap
besar selama 10 tahun mendatang.
Pendapatan
Asli Daerah (PAD) hanya merupakan salah satu pencerminan kemampuan
daerah, tetapi keragaman yang besar dalam kemampuan itu sudah
menunjukkan bahwa selain masalah sequencing dalam desentralisasi dan
pemberian otonomi juga perlu dirancang pelaksanaan bertahap sesuai
kemampuan masing-masing daerah.
Data-data
untuk tahun 1996 menunjukkan bahwa secara rata-rata PAD untuk 53
kotamadya mencapai sekitar 22,4% dari total penerimaan sedangkan PAD
untuk 232 kabupaten mencapai 10,3%. Suatu pemetaan berdasarkan PDRB per
kepala dan PAD sebagai persen dari total penerimaan menunjukkan bahwa
dari jumlah kabupaten tersebut hanya 17 kabupaten (4 di luar Jawa dan
Bali) mempunyai PAD dan PDRB per kepala di atas rata, sedangkan 103
kabupaten mempunyai PAD dan PDRB per kepala di bawah rata-rata. Untuk
ke 53 kotamadya, hanya 8 kotamadya (semua di Jawa dan Bali) yang
mempunyai PAD dan PDRB per kepala di atas rata-rata, sedangkan sebanyak
26 atau sekitar 50 persen, berada di bawah rata-rata.
Program
desentralisasi dan otonomi daerah merupakan pekerjaan besar dan harus
berhasil dengan baik. Melihat keragaman kemampuan maka pelaksanaannya
harus didasarkan pada sequencing yang jelas dan penerapan bertahap
menurut kemampuan daerah. Dalam proses pemulihan ekonomi nasional,
pelaksanaan program desentralisasi yang tergesa-gesa tanpa kesiapan
memadai akan mengganggu pemulihan ekonomi yang pada gilirannya akan
merugikan pembangunan ekonomi daerah sendiri. Maka sangat mungkin
diperlukan suatu kesepakatan baru. Proses desentralisasi tidak perlu
diakselerasi. Yang perlu diakselerasi adalah pengembangan kelembagaan
dan kemampuan, termasuk untuk pengembangan kebijakan, pada tingkat
daerah -- khususnya daerah Tingkat II. Ini merupakan kerja nasional
yang harus mendapat prioritas pertama dan dilaksanakan terutama di
daerah. Inilah inti dari pemberdayaan ekonomi daerah yang merupakan
kunci bagi pembangunan ekonomi daerah yang kompetitif dan efisien.
LINGKUNGAN SOSIAL DAN BUDAYA
Manusia
adalah makhluk hidup yang dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sebagai
makhluk biologis dan makhluk sosial. Sebagai makhluk biologis, makhluk
manusia atau “homo sapiens”, sama seperti makhluk hidup lainnya yang
mempunyai peran masing-masing dalam menunjang sistem kehidupan. Sebagai
makhluk sosial, manusia merupakan bagian dari sistem sosial masyarakat
secara berkelompok membentuk budaya.
Pemahaman
tentang hidup dan kehidupan, itu tidak mudah. Makin banyak hal yang
Anda lihat tentang gejala adanya hidup dan kehidupan, makin nampak
bahwa hidup itu sesuatu yang rumit. Pada individu dengan organisasi
yang kompleks, hidup ditandai dengan eksistensi vital, yaitu: dimulai
dengan proses metabolisme, kemudian pertumbuhan, perkembangan,
reproduksi, dan adaptasi internal, sampai berakhirnya segenap proses
itu bagi suatu “individu”. Tetapi bagi “individu” lain seperti sel-sel,
jaringan, organ-organ, dan sistem organisme yang termasuk dalam alam
mikroskopis, batasan hidup adalah tidak jelas atau samar-samar.
Kehidupan
adalah fenomena atau perwujudan adanya hidup, yang didukung tidak saja
oleh makhluk hidup (biotik), tetapi juga benda mati (abiotik), dan
berlangsung dalam dinamikanya seluruh komponen kehidupan itu. Ada
perpaduan erat antara yang hidup dengan yang mati dalam kehidupan. Mati
adalah bagian dari daur kehidupan yang memungkinkan terciptanya
kehidupan itu secara berlanjut.
Makhluk
hidup bersel satu adalah makhluk yang pertama berkembang. Jutaan tahun
kemudian kehidupan di laut mulai berkembang. Binatang kerang muncul,
lalu ikan kemudian disusul amphibi. Lambat laun binatang daratan
berkembang pula muncul reptil, burung dan binatang menyusui. Baru
kira-kira 25 juta tahun yang lalu muncul manusia kemudian berkembang
berkelompok dalam suku-suku bangsa seperti saat ini, dan hampir di
setiap sudut bumi ditempati manusia yang berkembang dengan cepat.
Lingkungan
hidup adalah suatu konsep holistik yang berwujud di bumi ini dalam
bentuk, susunan, dan fungsi interaktif antara semua pengada baik yang
insani (biotik) maupun yang ragawi (abiotik). Keduanya saling
mempengaruhi dan menentukan, baik bentuk dan perwujudan bumi di mana
berlangsungnya kehidupan yaitu biosfir maupun bentuk dan perwujudan
dari kehidupan itu sendiri, seperti yang disebutkan dalam hipotesa
Gaia. Lingkungan hidup yang dimaksud tersebut tidak bisa lepas dari
kehidupan manusia, oleh karena itu yang dimaksud dengan lingkungan
hidup adalah lingkungan hidup manusia.
Permasalahan Lingkungan Hidup
Belum
ada definisi tentang lingkungan sosial budaya yang disepakati oleh para
ahli sosial, karena perbedaan wawasan masing-masing dalam memandang
konsep lingkungan sosial budaya. Untuk itu digunakan definisi kerja
lingkungan sosial budaya, yaitu lingkungan antar manusia yang meliputi:
pola-pola hubungan sosial serta kaidah pendukungnya yang berlaku dalam
suatu lingkungan spasial (ruang); yang ruang lingkupnya ditentukan oleh
keberlakuan pola-pola hubungan sosial tersebut (termasuk perilaku
manusia di dalamnya); dan oleh tingkat rasa integrasi mereka yang
berada di dalamnya.
Oleh
karena itu, lingkungan sosial budaya terdiri dari pola interaksi antara
budaya, teknologi dan organisasi sosial, termasuk di dalamnya jumlah
penduduk dan perilakunya yang terdapat dalam lingkungan spasial
tertentu.
Lingkungan
sosial budaya terbentuk mengikuti keberadaan manusia di muka bumi. Ini
berarti bahwa lingkungan sosial budaya sudah ada sejak makhluk manusia
atau homo sapiens ini ada atau diciptakan. Lingkungan sosial budaya
mengalami perubahan sejalan dengan peningkatan kemampuan adaptasi
kultural manusia terhadap lingkungannya.
Manusia
lebih mengandalkan kemampuan adaptasi kulturalnya dibandingkan dengan
kemampuan adaptasi biologis (fisiologis maupun morfologis) yang
dimilikinya seperti organisme lain dalam melakukan interaksi dengan
lingkungan hidup. Karena Lingkungan hidup yang dimaksud tersebut tidak
bisa lepas dari kehidupan manusia, maka yang dimaksud dengan lingkungan
hidup adalah lingkungan hidup manusia.
Rambo
menyebutkan ada dua kelompok sistem yang saling berinteraksi dalam
lingkungan sosial budaya yaitu sosio sistem dan ekosistem. Sistem
sosial tersebut meliputi: teknologi; pola eksploitasi sumber daya;
pengetahuan; ideologi; sistem nilai; organisasi sosial; populasi;
kesehatan; dan gizi. Sedangkan ekosistem yang dimaksud meliputi tanah,
air, udara, iklim, tumbuhan, hewan dan populasi manusia lain. Dan
interaksi kedua sistem tersebut melalui proses seleksi dan adaptasi
serta pertukaran aliran enerji, materi, dan informasi.
STRUKTUR DAN FUNGSI EKOSISTEM
Struktur Ekosistem
Manusia
sebagai mahluk sosial, tidak dapat hidup secara individu, selalu
berkeinginan untuk tinggal bersama dengan individu-individu lainnya.
Keinginan hidup bersama ini terutama berhubungan dalam aktivitas hidup
pada lingkungannya. Manusia mempunyai kedudukan khusus terhadap
lingkungannya dibandingkan dengan mahluk hidup lainnya, yaitu sebagai
khalifah atau pengelola di atas bumi.
Manusia
dalam hidup berkelompok ada yang membentuk masyarakat, dan tidak setiap
kelompok dapat disebut masyarakat, karena masyarakat mempunyai
syarat-syarat tertentu sebagai ikatan kelompok. Masyarakat dapat
diartikan sebagai kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut
suatu sistem adat-istiadat tertentu yang bersifat kontinyu, dan terikat
oleh suatu rasa identitas bersama.
Dinamika
masyarakat memberikan kesempatan kebudayaan untuk berkembang, sehingga
dapat dikatakan bahwa tidak ada kebudayaan tanpa masyarakat, dan tidak
ada masyarakat tanpa kebudayaan sebagai wadah pendukungnya.
Azas-azas dan ciri-ciri kehidupan berkelompok pada mahluk hidup, juga dijalani oleh manusia dalam bermasyarakat.
Fungsi Ekosistem
Kebudayaan
dapat diartikan dengan hal-hal yang bersangkutan dengan akal.
Kebudayaan adalah keseluruhan dari kelakuan dan hasil kelakuan manusia,
yang teratur oleh tata kelakuan yang harus di dapatnya dengan belajar,
yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat. Tidak ada kebudayaan
tanpa masyarakat, dan tidak ada masyarakat tanpa kebudayaan.
Kebudayaan
adalah keseluruhan pola tingkah laku dan pola bertingkah laku, baik
secara eksplisit maupun implisit, yang diperoleh dan diturunkan melalui
simbol, yang akhirnya mampu membentuk sesuatu yang khas dari
kelompok-kelompok manusia, termasuk perwujudannya dalam benda-benda
materi.
Kebudayaan
mencakup ruang lingkup yang luas, yang wujudnya dapat berupa kebudayaan
hasil rasa atau sistem budaya (norma, adat istiadat), hasil cipta
(fisik) dan konsep tingkah laku (sistem sosial).
Kebudayaan
dimulai sejak adanya mahluk Homo Neanderthal (ras manusia yang sudah
punah) kurang lebih 200.000 tahun yang lalu. Mahluk ini diperkirakan
sudah mempunyai bahasa, dengan volume otak yang hampir sama dengan
manusia. Kemudian muncul mahluk homo sapiens kurang lebih 80.000 tahun
yang lalu. Dua unsur yang memungkinkan kebudayaan manusia bisa
berevolusi adalah bahasa dan akal.
Perkembangan
kebudayaan berkembang sangat lamban dimulai dari adanya mahluk
Neanderthal hingga revolusi pertanian (10.000 th. yang lalu), tetapi
sejak revolusi industri (abad 18 M), kebudayaan berkembang dengan
pesat. Lebih-lebih zaman sekarang (abad 20) yang ditandai dengan
gencarnya inovasi teknologi; era informasi; peluang ekonomi yang tak
terbayangkan sebelumnya; dan reformasi politik yang radikal dan
berdampak global. Sehingga ada kecenderungan berbudaya gaya
internasional. Perkembangan budaya ini dipengaruhi oleh alam pikiran
yang menjadikan tahapan perkembangan dalam budaya mitis, ontologis, dan
fungsional.
Begitu
banyak unsur-unsur budaya yang ada di dunia ini, namun ada unsur-unsur
kebudayaan yang bersifat universal, yaitu tujuh unsur kebudayaan
meliputi: bahasa; sistem pengetahuan; organisasi sosial; sistem
peralatan hidup dan teknologi; sistem mata pencaharian hidup; sistem
religi; dan kesenian. Ketujuh unsur budaya ini terintegrasi sebagai
satu kesatuan yang utuh dalam suatu masyarakat sebagai ciri dari suatu
budaya melalui proses penyesuaian, sehingga memungkinkan unsur-unsur
tersebut berfungsi secara seimbang. Dalam kehidupan masyarakat yang
majemuk, integrasi sosial sebagai usaha untuk menjalin hubungan yang
serasi.
KOMUNITAS, POPULASI, DAN SPESIES
Komunitas
Pola lokasi kota bervariasi karena banyak faktor-faktor yang mempengaruhi. Sedangkan untuk struktur ruang kota , ada tiga pola ruang kota yaitu berupa lingkaran konsentris, pola sektor, dan pola inti ganda.
Memahami kehidupan dan lingkungan hidup kota tak ubahnya kita memahami jasad hidup, yaitu jasmani kota dan rohani kota . Jasmani kota ada yang berupa metabolisme kota , peredaran makanan atau darah kota , sistem syaraf kota , dan tulang-tulang struktur kota yang berupa infrastruktur.
Dari uraian-uraian di atas dapat diketahui ciri-ciri kota dan masyarakatnya, sebagai berikut:
1. Kota mempunyai fungsi-fungsi khusus (satu kota bisa berbeda dengan fungsi kota yang lain).
2. Mata pencaharian penduduknya di luar agraris (non-agraris).
3. Adanya spesialisasi pekerjaan warganya.
4. Kepadatan penduduk relatif tinggi.
5. Warganya relatif mobility.
6. Tempat permukiman yang tampak permanen.
7. Sifat-sifat warganya yang heterogen, kompleks, hubungan sosial yang impersonal dan external,
serta personal segmentation, karena begitu banyaknya peranan dan jenis
pekerjaan seseorang dalam kelompoknya sehingga seringkali orang tidak
kenal satu sama lain, seolah-olah seseorang menjadi asing dalam
lingkungannya.
Populasi.
Pengertian
desa sebagai tempat permukiman sangat beragam tergantung dari kacamata
pengamatnya, bisa ditinjau dari aspek morfologi, aspek jumlah penduduk,
aspek ekonomi, dan aspek sosial budaya serta aspek hukum.
Masyarakat
desa selalu dikonotasikan dengan ciri tradisional, kuatnya ikatan
dengan alam, eratnya ikatan kelompok, guyup rukun, gotong royong,
alon-alon asal kelakon, dan paternalistik.
Pada umumnya mata pencaharian penduduk di perdesaan adalah bercocok tanam atau bertani. Ada
pekerjaan lain seperti bertukang, kerajinan atau pekerjaan lain, tetapi
pekerjaan ini merupakan pekerjaan sambilan sebagai pengisi waktu luang.
Pembagian kerja di desa relatif sederhana bila dibandingkan dengan kota . Struktur sosial di kota
mengenal diferensiasi yang luas sedangkan di perdesaan relatif
sederhana. Di perdesaan orang lebih menghayati hidupnya, terutama pada
kelompok primer dan berorientasi pada tradisi, serta cenderung
konservatif.
Pola
ruang desa-desa Indonesia cukup bervariasi tergantung dari di mana
lokasi desa itu berada, yaitu: Pola Melingkar; Pola Mendatar; Pola
Konsentris; Pola memanjang jalur sungai atau Jalan; Pola Mendatar; dan
Pola Konsentris Desa di Jawa Timur.
MANUSIA DAN LINGKUNGAN HIDUP
Kedudukan Manusia dalam Lingkungan Hidup dan Dinamika Populasi
Interaksi
sosial merupakan hubungan sosial yang dinamis, yang meliputi hubungan
antara masing-masing individu; antara kelompok maupun antara individu
dengan kelompok.
Melihat interaksi manusia dapat dilihat dalam dua tingkat (kacamata), yaitu tingkat hayati dan tingkat sosial atau budaya.
Interaksi
sosial tidak akan terjadi bila tidak memenuhi dua syarat, yaitu: (1)
Adanya kontak sosial (social-contact); (2) adanya komunikasi
(communications). Dan menurut ahli-ahli sosial bentuk-bentuk interaksi
sosial dapat berupa kerja sama (co-operation), persaingan
(competition), pertentangan atau pertikaian (conflict), dan dapat juga
berbentuk akomodasi (accommodation).
Menurut
kacamata ahli ilmu alam, dasar proses interaksi manusia adalah
kompetisi. Kompetisi itu pada hakekatnya berlangsung dengan proses
kerjasama yang spontan dan tidak berencana, membentuk apa yang disebut
koperasi yang kompetitif. Sebagai akibat timbullah apa yang disebut
relasi yang simbiotik.
Relasi simbiotik itu dalam bentuk mutualisme, komensalisme, amensalisme, kompetisi, parasitisme, dan predasi.
Interaksi
pada makhluk hayati terjadi secara netral, untuk keseimbangan ekosistem
itu sendiri. Interaksi sosial pada manusia tidak terjadi secara netral,
ada norma-norma moral manusia. Dalam interaksinya dengan lingkungan
cenderung antroposentrik, sehingga membuka peluang manusia untuk
bersifat eksploitatif terhadap lingkungannya. Tetapi dengan memadukan
sikap imanen dan transenden sebagai dasar moral dan tanggung jawab
dalam memanfaatkan alam sifat eksploitatif dapat lebih terkendali.
Lingkungan Hidup Buatan
Untuk
memahami perilaku atau tingkah laku manusia dapat ditelusuri melalui
persepsi manusia terhadap lingkungannya. Persepsi adalah stimulus atau
sesuatu yang dapat memberikan rangsangan pada syaraf, yang ditangkap
oleh panca indera serta diberi interpretasi (arti) oleh sistem syaraf.
Dalam melihat persepsi ini ada dua pendekatan yaitu pendekatan konvensional dan pendekatan ekologis dari Gibson.
Usaha
menjelaskan perilaku sebagai ungkapan persepsi dapat dilihat dari
interaksi antara rangsangan (stimulus) terhadap reaksi (respons).
Beberapa aliran hubungan Stimulus – Response antara manusia dengan
lingkungannya, adalah: aliran determinisme; interaksionisme; dan
transaksionisme.
Adapun
faktor-faktor yang dapat mempengaruhi persepsi seseorang terhadap
lingkungannya, adalah faktor obyek fisik dan faktor individu. Hasil
interaksi individu dengan obyek fisik menghasilkan persepsi individu
tentang obyek tersebut.
Sedangkan
respon manusia terhadap lingkungannya bergantung pada bagaimana
individu mempersepsikan lingkungannya. Respon ini dapat dilihat dari
gejala-gejala persepsi mereka terhadap ruang sebagai lingkungan tempat
tinggalnya, yaitu meliputi personal space, privacy, territoriality,
crowding dan density, peta mental, serta stress.
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM
Sumber Daya Alam Secara Umum
Pembangunan
adalah sebagai suatu usaha atau rangkaian usaha pertumbuhan dan
perubahan yang berencana yang dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa,
negara dan pemerintah, menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa.
Konsep
pembangunan tersebut dapat dilihat sebagai konsep pertumbuhan (growth);
rekonstruksi (reconstruction); modernisasi (modernization);
westernisasi (westernization); pembangunan bangsa (nation building);
pembangunan nasional (national development); pembangunan sebagai
pengembangan negara; dan pembangunan sebagai upaya pemenuhan hidup,
kebebasan memilih dan harga diri.
Di
Indonesia teori pembangunan dijabarkan sebagai konsep pembangunan
bertahap yaitu: pembangunan berimbang (balanced development); tahap
pembangunan memenuhi kebutuhan pokok; tahap pembangunan dengan
pemerataan; dan terakhir adalah tahap pembangunan dengan kualitas
hidup, yaitu pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia .
Dengan strategi yang diterapkan adalah Trilogi Pembangunan meliputi:
pertumbuhan ekonomi; pemerataan kesejahteraan sosial; dan stabilitas
politik. Jika kita lihat tahapan pembangunan pada teori pembangunan
tersebut di atas, terlihat bahwa Indonesia pun mengikuti tahapan pembangunan tersebut.
Konsekuensi
pembangunan adalah melakukan perubahan sebagai upaya meningkatkan
kualitas hidup. Sedangkan perubahan baik pada lingkungan fisik maupun
lingkungan sosial budaya ini berdampak positif dan negatif.
Neraca
pembangunan yang terjadi saat ini dirasakan tidaklah menggembirakan. Di
satu sisi ada kemajuan, di lain sisi ditemukan kerusakan lingkungan
yang secara serius akhirnya mengganggu kehidupan manusia dan
kelangsungan pembangunan itu sendiri. Hal ini tidak hanya terjadi di
negara-negara berkembang, yang sedang giat-giatnya membangun, tetapi
juga di alami oleh negara-negara maju.
Oleh
karena itu, muncullah konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable
development) sebagai upaya meleburkan atau melarutkan lingkungan ke
dalam pembangunan, yaitu dengan tetap berusaha atau membangun tidak
melampaui kemampuan ekosistem yang mendukung kehidupannya. Setelah
permasalahan lingkungan dirasakan dapat mengganggu kehidupan manusia
dan kelangsungan pembangunan itu sendiri.
Sumber Daya Alam Terbarui
Perubahan
sosial adalah suatu perubahan yang terjadi pada sistem sosial yang
mencakup tata nilai sosial, sikap, dan pola perilaku kelompok.
Perubahan sosial merupakan perubahan kelembagaan masyarakat dan
perubahan individu.
Sedangkan
perubahan bentuk perubahan budaya adalah: (1) Alkulturasi; (2)
Asimilasi; (3) Difusi; (4) Sinkretisme; dan (5) Penetrasi.
Dalam
konteks pengelolaan lingkungan, masyarakat tradisional lebih bersandar
pada penyesuaian masyarakat pada lingkungannya. Sedangkan masyarakat
modern mengandung lebih banyak unsur yang berkaitan dengan mengatasi
atau mengubah kendala lingkungan hidup.
Sedangkan
faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan dapat dibagi dalam 2 sifat
yaitu perubahan endogenik (perubahan dari dalam), dan perubahan
exogenik (dari luar).
Pada
umumnya perubahan dari luar akan mempunyai dampak yang lebih besar, dan
lebih banyak berhubungan dengan aspek pembangunan, serta bersifat
revolusioner. Walaupun demikian tidak berarti bahwa perubahan dari
dalam tidak bisa serius.
Di
dalam suatu masyarakat yang sedang membangun, perlu terjadi suatu
perubahan sosial yang diberi nama modernisasi. Modernisasi dapat
diartikan sebagai penerapan pengetahuan ilmiah yang ada pada semua
aktifitas, semua bidang kehidupan, atau semua aspek-aspek masyarakat.
Untuk mendukung modernisasi perlu suatu tata nilai modern pada
individu, yang mencakup kualitas pribadi dan tersebarnya pengetahuan
ilmiah serta keterampilan teknis. Tata nilai modern pada individu harus
melembaga pula pada suatu kelembagaan sosial yang modern. Mana yang
menjadi unsur utama, para ahli masih belum ada kesepakatan.
Dari
pengalaman pembangunan di Dunia Ketiga, diketahui bahwa modernisasi
tanpa didukung oleh perubahan sosial tidaklah efektif. Oleh karena itu,
perubahan sosial hendaknya memperhatikan nilai teologi etis atau
teologi pembebasan dan bersifat suatu perubahan sosial yang baru atau
pembaruan yang dibawa oleh tokoh-tokoh agen pembaruan.
PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
Pembangunan Konvensional dan Permasalahan Lingkungan Hidup
Pendudukan
dan lingkungan hidup berkaitan erat. Keprihatinan tentang masalah
kependudukan sebetulnya telah lama dirasakan. Sekarang keprihatinan itu
telah meningkat kembali setelah kita sendiri menjadi lebih sadar
tentang berbagai dampak pertumbuhan penduduk yang tak terkendalikan di
negara kita sendiri.
Bersamaan
dengan meningkatnya kesadaran lingkungan hidup, telah meningkat pula
kesadaran tentang kaitan antara lingkungan hidup dengan aspek
kependudukan.
Bagi
lingkungan sosial, masalah kependudukan dan lingkungan hidup merupakan
unsur atau komponen dari masalah lingkungan sosial, yaitu masalah
perubahan sosial di segala segi kehidupan, akibat perubahan dari segi
material dan teknologi yang lebih cepat dari pada laju perubahan dari
segi tata nilai atau gaya hidup.
Oleh
karena itu, untuk menanggapi masalah kerusakan lingkungan hidup, pola
hidup penduduk harus berubah sehingga tumbuh masyarakat yang mampu
menopang suatu pembangunan yang dapat memperbaiki mutu kehidupan
manusia dengan tetap berusaha tidak melampaui kemampuan ekosistem yang
mendukung kehidupannya.
Untuk
menumbuhkan masyarakat yang seperti itu, perlu dikembangkan prinsip
etika (prinsip pertama dari prinsip-prinsip berkelanjutan) yang
mengindahkan semangat gotong royong. Di atas prinsip gotong royong
dikembangkan empat prinsip berkelanjutan, yaitu:
1. Prinsip meningkatkan kualitas hidup. Pembangunan ini baru berarti jika meningkatkan kualitas hidup dalam segala seginya;
2. Prinsip melestarikan vitalitas dan keanekaragaman bumi agar pembangunan bisa berlanjut;
3. Prinsip minimalisasi penciutan sumberdaya alam yang tidak diperbarui; dan
4. Prinsip mengindahkan daya dukung lingkungan
Kualitas
hidup yang tinggi, yang memperhatikan ekologi berkelanjutan sebagai
hasil dari pembangun yang berkelanjutan, memerlukan indikator-indikator
sebagai alat untuk mengukur kemajuan ke arah masyarakat yang
berkelanjutan. Mencakup: kualitas hidup; keberlanjutan ekologi;
keberlanjutan penggunaan sumber daya terbarukan dan meminimumkan
penggunaan sumberdaya tak terbarukan; dan faktor sosial ekonomi.
Konsep Pembangunan yang Berkelanjutan
Kasus-kasus
pencemaran dan kerusakan seperti di laut, hutan, atmosfer, air, tanah,
dan seterusnya bersumber pada perilaku manusia yang tidak bertanggung
jawab, tidak peduli dan hanya mementingkan diri sendiri. Oleh karena
itu, krisis lingkungan ini hanya bisa diatasi dengan melakukan
perubahan cara pandang dan perilaku manusia terhadap alam yang
fundamental dan radikal melalui etika lingkungan yang dibutuhkan untuk
menuntun manusia berinteraksi dengan alam semesta.
Ada
dua pemahaman tentang etika, yaitu etika yang dipahami sebagai moral
dan etika yang dipahami dalam pengertian yang berbeda dengan moralitas,
sehingga mempunyai pengertian yang lebih luas dan merupakan refleksi
kritis bagaimana manusia harus bertindak dalam situasi konkret dan
situasi tertentu melalui penelusuran kritis teori etika deontologi,
etika teleologi, dan etika keutamaan.
Sedangkan
etika lingkungan di sini dipahami sebagai disiplin ilmu yang berbicara
mengenai norma dan kaidah moral yang mengatur perilaku manusia dalam
berhubungan dengan alam serta nilai dan prinsip moral yang menjiwai
perilaku manusia dalam berhubungan dengan alam.
Berbagai
teori etika lingkungan dapat menjelaskan pola perilaku manusia dalam
kaitan dengan lingkungan. beberapa teori etika lingkungan ini merupakan
perkembangan pemikiran di bidang etika lingkungan, yaitu Shallow
Environmental Ethic, Intermediate Environmental Ethic, dan Deep
Environmental Ethic. Ketiga teori ini dikenal sebagai antroposentrisme,
biosentrisme, dan ekosentrisme. Ketiga teori ini mempunyai cara pandang
yang berbeda tentang manusia, alam, dan hubungan manusia dengan alam.
sumber : www.fandyfauzy.blogspot.com
sumber : www.fandyfauzy.blogspot.com
0 komentar:
Posting Komentar